Pagar Pembatas Poligami dalam Islam


Harus saya katakan dari awal bahwa, ada dua hal penting yang perlu saya tegaskan sebelum menukik pada substansi pokok kajian dalam tulisan ini. Pertama, minimnya pengetahuan saya tentang Islam membuat saya bersemangat untuk bertanya ke sana ke mari mengenai sesuatu yang berkaitan dengan agama yang sudah sempurna dan akan selalu sempurna sepanjang zaman itu; minimnya pengetahuan saya tentang Islam membuat saya bersemangat untuk menelusuri sumber-sumber terpercaya mengenai sesuatu yang ingin saya ketahui secara lebih bertanggungjawab.

Kedua, saya bersemangat sebatas untuk menuliskan pemahaman saya tentang poligami, dan bukan untuk melakukannya, terutama karena saya tau diri. Bahwa kemudian faktanya antara diri yang satu dengan diri yang lain kondisinya bisa sama bisa berbeda, itulah sesungguhnya keniscayaan fakta empiris yang kemudian harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pertimbangan-pertimbangan imperatif bagi seseorang sebelum menjatuhkan pilihan pada poligami. Ada prinsip kehati-hatian di sana, dan prinsip kehati-hatian adalah bagian tak terpisahkan dari ketakwaan. Kehati-hatian dalam konteks wacana poligami adalah kehati-hatian dalam hal memilih untuk melakukannya dan/atau kehati-hatian dalam hal memilih untuk tidak melakukannya.

Dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran, Sayyid Quthb mengetengahkan beberapa Hadits shahih terkait dengan realiatas sosial poligami. Beberapa di antaranya adalah Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan isnadnya bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqofi memeluk Islam, sementara dirinya saat itu memiliki sepuluh orang istri. Atas keadaan ini kemudian Rasulullah SAW bersabda: Ikhtar minhunna arba’an, pilihlah empat orang dari mereka.

Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dengan isnadnya, bahwa Umairah Al-Asadi berkata:

Saya masuk Islam, sedang saya memiliki delapan orang istri. Lalu saya ceritakan hal itu kepada Baginda Nabi SAW, kemudian beliau bersabda: Ikhtar minhunna arba’an, pilihlah empat orang dari mereka.

Imam Syafi’i meriwayatkan dalam musnadnya bahwa ia telah diberitahu oleh orang yang mendengar Ibnu Abi Ziyad berkata: Aku diberitahu oleh Abdul Majid dari Ibnu Sahl bin Abdur Rahman, dari Auf bin Al-Harits, dari Naufal bin Muawiyah Ad-Dailami, dia berkata: Aku masuk Islam, sedang aku mempunyai lima orang istri, lalu Rasulullah SAW bersabda kepadaku: Ikhtar arba’an ayyatahunna syi’ta wa faariqil ukhra, pilihlah empat orang di antara mereka yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lain.

Dari tiga keterangan Hadits di atas, terlihat sangat jelas bahwa sebelum Islam datang, poligami sudah menjadi bagian dari realitas sosial. Dan di tengah realitas sosial seperti itu, Islam datang untuk menyadarkan masyarakat, terutama kaum laki-laki bahwa dalam poligami ada pagar-pagar pembatas yang tidak boleh dilanggar oleh seorang muslim, yakni empat orang istri, dan itupun secara khusus mempersyaratkan kemampuan untuk bisa berbuat adil. Di sini, Sayyid Quthb mengelaborasi sebuah penegasan krusial bahwa Islam datang bukan untuk memberi kebebasan melakukan poligami; akan tetapi Islam datang untuk membatasi poligami; Islam datang bukan untuk membiarkan kaum lelaki melakukan poligami sesuka mereka; Islam datang untuk mengikat poligami dengan simpul aturan yang kuat yakni syarat mampu berbuat adil.

Sebuah pertanyaan mendasar adalah, mengapa Islam meletakkan kekuatan simpul aturan poligami pada syarat mampu berbuat adil? Ada apa gerangan dengan keadilan?

Saya berharap kita semua bisa memberikan kesaksian secara meyakinkan bahwa eksistensi alam semesta ini dipelihara keseimbangannya oleh Sang Pencipta dalam timbangan keadilan. Dalam konteks membangun masyarakat yang memiliki ketahanan yang kuat, keadilan sangat relevan diwujudkan di tempat pemeliharaan keluarga, yang nota bene merupakan batu pertama bangunan seluruh jamaah, dan sebagai titik tolak kehidupan sosial secara umum, tempat tumbuh dan berkembangnya generasi. Jika kekuatan simpul aturan poligami bukan pada keadilan, maka jangan pernah bermimpi akan pernah ada keadilan dan juga kedamaian di tengah-tengah masyarakat. Ini saya kira menjadi salah satu rahasia mendasar mengapa simpul kekuatan dalam aturan poligami ada pada syarat mampu berbuat adil. Dengan ikatan ini, dengan pagar pembatas ini, kita berharap tidak ada kesewenang-wenangan di sana; tidak ada penelantaran hak-hak di sana; tidak ada penganiayaan di sana, dan lain sebagainya.

Saya berharap pula, tidak ada lagi yang berprasangka bahwa saya menolak poligami. Tidak!!! Menolak poligami sama dengan menolak aturan Allah. Yang saya tolak mentah-mentah adalah setiap pandangan tentang poligami yang bertentangan dengan Islam. Yang saya tolak mentah-mentah adalah manipulasi aturan poligami, sehingga seolah-olah jika seorang lelaki beristri berjumpa dengan perempuan kedua yang lebih cantik dari istrinya, lalu sang perempuan mau dinikahi, maka kemudian poligami segera dilakukan. Saat berjumpa lagi dengan perempuan ketiga yang lebih cantik, dan mau dinikahi, segera poligami dilakukan; begitupun saat berjumpa dengan perempuan keempat yang lebih menarik. Persoalannya, perempuan cantik selalu ada, apalagi memang kenyataannya para setan selalu ikut bekerja keras membantu para lelaki yang tidak bisa menjaga pandangannya. Celakanya, saat berjumpa dengan perempuan cantik kelima, keinginan untuk poligami direncanakan bersamaan dengan keinginan untuk menceraikan salah satu istri agar jumlah totalnya tidak melebihi batasan yang diperbolehkan. Inilah manipulator-manipulator hukum syariah untuk melanggengkan syahwat berpoligami.

Sebagai catatan penutup, salam takzim saya yang setinggi-tingginya kepada saudara-saudara seakidah yang melakukan poligami sesuai dengan aturan yang digariskan Islam. Sementara itu, khusus untuk sahabat-sahabat seiman yang berstatus monogami seperti saya, bolehjadi memang itulah maqom kita yang lebih dekat pada keadilan: dzaalika adnaa alla ta’ulu, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS. An-Nisa: 3). Jika kita belum mampu untuk berbuat adil dalam poligami, lebih baik fokuskan diri pada kesabaran membangun keadilan dalam monogami. Bukankah bidadari-bidadari di surga sudah menunggu? (Baca juga: Sabarlah Saudaraku, di Dunia Kita Hidup Hanya 1,5 Jam atau 0,15 Detik Saja). Akhirnya, terlalu banyak yang ingin saya katakan, tetapi terlalu sedikit yang bisa saya tulis. Wallahua’lam.

Catatan Lepas:
Jika membaca artikel di atas membuat dahi agak berkerut, cobalah kendorkan sedikit dengan humor yang satu ini: Enak Zaman Soeharto atau Jokowi ?

Post a Comment for "Pagar Pembatas Poligami dalam Islam"