Kematian, Sebuah Nasehat yang Paling Jujur


“Cukuplah kematian sebagai peringatan.” – demikian kata para bijak.

Dan memang, tidak ada yang lebih jujur dari kematian. Ia tak pernah berdusta, tak pernah terlambat, dan tak pernah keliru memilih waktu.

Bayangkan...

Seseorang yang pagi tadi masih menyapa kita, siangnya masih tertawa, sore harinya telah terbujur kaku dalam kafan putih. Semua mimpi-mimpinya terhenti. Semua hartanya ditinggalkan. Semua urusannya terputus, kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan.

Kematian mengajarkan kita tentang kefanaan. Bahwa sehebat apapun manusia, ia akan kembali menjadi tanah. Bahwa setinggi apapun jabatan, akan sirna di lubang satu kali dua meter. Bahwa sebanyak apapun harta, tak satu pun ikut menyertai ke liang lahat.

Lalu… untuk apa kita sombong? Untuk apa kita menunda taubat? Untuk apa kita bermusuhan dan menyakiti sesama?

Kematian tidak menunggu kita tua. Ia datang pada yang muda, pada yang sehat, bahkan pada yang sedang tertawa. Ia datang tanpa salam, tanpa aba-aba. Karena ajal sudah ditentukan, tak bisa dimajukan, tak bisa ditangguhkan walau sesaat. Maka, mari kita hidup dengan kesadaran bahwa waktu kita terbatas.

Jadikan setiap hari berarti. Setiap amal bernilai. Setiap detik sebagai kesempatan memperbaiki diri. Maafkan orang lain sebelum malam tiba. Ucapkan terima kasih sebelum terlambat. Peluk orang yang kau cinta selagi bisa. Dan jangan pernah menunda berbuat baik… karena besok belum tentu kita ada.

Mari kita hidup seakan hari ini adalah hari terakhir. Agar saat maut datang menjemput, kita menyambutnya dengan senyum... bukan dengan wajah penyesalan.

Ya Allah, jika kami lupa bahwa hidup ini hanya sebentar, ingatkanlah kami dengan kematian… Dan jika kami lalai mempersiapkan bekal, jangan Engkau cabut nyawa kami sebelum kami kembali pada-Mu dengan taubat yang tulus. Aamiin.

Post a Comment for "Kematian, Sebuah Nasehat yang Paling Jujur"