Akhiri Ketergantungan pada Fogging, Mari Fokus ke Akar Masalah Demam Berdarah

Akhiri Ketergantungan pada Fogging, Mari Fokus ke Akar Masalah Demam Berdarah.
Beberapa waktu terakhir, angka kasus demam berdarah dengue (DBD) di berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali Karawang, kembali menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Di tengah kekhawatiran masyarakat akan ancaman nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor penyakit ini, satu hal yang kerap terlihat di lapangan adalah dorongan atau desakan warga untuk segera dilakukan fogging atau pengasapan. Bahkan, tidak jarang permintaan itu datang dari tokoh masyarakat, atau bahkan lembaga tertentu yang bermaksud baik, namun sayangnya belum memahami sepenuhnya pendekatan yang tepat dalam menangani DBD.

Persepsi bahwa fogging adalah solusi utama penanggulangan DBD memang sudah lama tertanam di benak banyak orang. Ini bukan hal baru, dan bukan pula sepenuhnya salah masyarakat. Kita harus mengakui, selama bertahun-tahun, fogging seolah menjadi simbol "tindakan nyata" yang mudah dikenali dan terasa instan. Asap tebal yang menyebar di lingkungan padat penduduk, suara mesin yang meraung-raung, serta aparat yang berjibaku menembus gang-gang sempit — semua itu membentuk kesan bahwa upaya pencegahan sedang dilakukan dengan serius.

Namun, di balik semua itu, ada satu kenyataan penting yang sering terlupakan: fogging bukanlah jawaban utama untuk memutus rantai penularan DBD.

Mengapa Fogging Bukan Solusi Utama?

Fogging memang bisa membunuh nyamuk dewasa, tetapi hanya yang terpapar langsung oleh asap insektisida. Sementara itu, siklus hidup nyamuk Aedes aegypti tidak berhenti pada nyamuk dewasa saja. Di balik bak mandi yang jarang dibersihkan, kaleng bekas di sudut halaman, atau pot tanaman yang digenangi air, jentik-jentik nyamuk tetap hidup dan berkembang dengan subur.

Yang lebih mengkhawatirkan, penggunaan fogging yang tidak bijak atau terlalu sering justru bisa menimbulkan efek resistensi — nyamuk menjadi kebal terhadap bahan kimia yang digunakan. Maka, bukan hanya tidak efektif, tapi juga berisiko menciptakan masalah baru.

Selain itu, fogging hanya bersifat reaktif, dilakukan ketika sudah ada laporan kasus. Artinya, fogging adalah respons atas situasi darurat, bukan tindakan pencegahan jangka panjang.

Lalu, Apa Solusi yang Sesungguhnya?

Jawabannya adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Inilah strategi yang selama ini terbukti paling efektif dan berkelanjutan dalam mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti. Konsep PSN sebenarnya sangat sederhana, bahkan bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan tanpa biaya besar.

Langkah-langkah PSN dikenal dengan gerakan 3M Plus, yaitu:
  1. Menguras tempat penampungan air secara rutin.
  2. Menutup rapat semua tempat penampungan air.
  3. Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang berpotensi menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk.
Adapun yang dimaksud “Plus” mencakup berbagai tindakan tambahan seperti menggunakan kelambu saat tidur, menabur bubuk larvasida di tempat yang sulit dikuras, memasang kawat kasa di ventilasi rumah, hingga menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam kamar yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk.

PSN bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal kesadaran kolektif dan konsistensi masyarakat dalam menjaga lingkungan.

Mengapa Banyak Orang Masih Lebih Percaya Fogging?

Ini adalah pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh semua pihak yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat. Salah satu faktornya adalah kurangnya edukasi yang menyentuh akar pemahaman masyarakat. Fogging terlihat "heboh" dan langsung terasa efeknya secara visual, sedangkan PSN terasa sepele dan tidak menarik untuk diperbincangkan. Padahal dari sisi efektivitas, PSN jauh lebih kuat dalam mencegah kasus baru.

Yang lebih menyedihkan, ketika seorang tokoh masyarakat atau pejabat publik ikut mendorong dilakukannya fogging tanpa melihat situasi secara epidemiologis, maka masyarakat pun semakin yakin bahwa fogging adalah segalanya. Di sinilah peran penting edukasi berbasis data, disampaikan dengan pendekatan yang komunikatif dan membumi.

Saatnya Mengubah Cara Pandang

Kita perlu mengubah cara pandang bersama: bahwa DBD bukan hanya tanggung jawab dinas kesehatan atau petugas puskesmas, tetapi tanggung jawab kolektif yang dimulai dari lingkungan terkecil — rumah kita sendiri. Tidak perlu menunggu ada kasus baru untuk mulai bertindak. Jangan tunggu ada pengasapan baru kita bergerak.

Kesadaran untuk menjaga lingkungan, membersihkan tempat penampungan air, dan memantau keberadaan jentik harus menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari. Pemerintah, tokoh masyarakat, RT/RW, kader posyandu, guru, hingga media lokal harus bahu membahu mendorong perubahan pola pikir ini.

Demam berdarah bukan penyakit musiman biasa. Ia bisa merenggut nyawa, terutama anak-anak dan kelompok rentan lainnya. Maka, upaya kita pun tidak boleh setengah-setengah atau berbasis mitos semata.

Fogging bukan musuh, tapi juga bukan pahlawan utama. Ia hanya pelengkap — cadangan yang dipakai saat benar-benar dibutuhkan. Pahlawan sebenarnya adalah kita semua, yang mau peduli, membersihkan lingkungan, dan menjaga agar jentik-jentik nyamuk tak pernah punya tempat untuk hidup.

Post a Comment for "Akhiri Ketergantungan pada Fogging, Mari Fokus ke Akar Masalah Demam Berdarah"