Di Balik Anekdot Seputar LGBT


Budi yang bekerja di warnet, sudah lama tak pulang ke desa. Rasa kangen yang meluap-luap pada ibunya yang sudah tua di kampung, membuatnya tak kuasa lagi untuk menunda keinginannya pulang ke kampung. Akhirnya, hari Sabtu ia memutuskan untuk pulang menemui ibunya. Sesampai di rumah, Budi memeluk erat-erat ibunya. Begitupun sang ibu. Air mata haru sang anak dan bunda mengalir deras seolah sedang mengalirkan rasa rindu yang lama terpendam. Beberapa saat setelah pertemuan yang mengharukan itu, sang ibu ingin tahu alasan putranya tidak pulang sekian tahun. Maka berlangsunglah dialog berikut.

IBU: Kamu kerja apa to le kok sampai nggak sempat pulang?

BUDI: Saya kerja di warnet bu.

IBU: Warteg….?

BUDI: Warnet bu, bukan warteg. Warnet itu berhubungan dengan dunia maya bu.

IBU: (Nelongso dan marah). Oalah le..... maya itu kan bukan bojomu, bukan muhrim, haram le..... !

BUDI: Lho bu, maya itu bukan perempuan..... (baru mau menjelaskan sudah dipotong sang ibu).

IBU: (Semakin marah dan bingung) Astaghfirullah..... nyebut le..... eling le….. kamu kok kumpul sama laki-laki..... Astaghfirullah..... dosa yang tak terampuni le..... perempuan masih banyak, kok seneng sama laki-laki? (Nangis keras)

BUDI: (Bingung)...Ibu jangan salah paham, maya itu bukan perempuan, bukan laki.....

IBU: Tobaaaaaat..... Gusti Allah ampuni anakku yang sudah tersesat ini. Bukan perempuan, bukan laki-laki, kenapa kok kamu seneng sama banci to le...????

BUDI: (Makin bingung..... arep ngomong piye maneh...) Bu....maya itu bukan laki, bukan perempuan, bukan banci. Maya itu bukan manusia...!!!

IBU: (Serasa mau pingsan) Astaghfirullah..... jadi kamu ndak pulang itu mergo kamu kerjasama dengan jin yo...le...??? Tambah tersesat kuwi le...musyrik kuwi....le. Tobaaaaaat yo le.
***
Anekdot di atas saya kutip dari salah satu Group WA Orang Tua Wali Murid MAN Insan Cendekia Serpong belum lama ini. Saya yakin seyakin yakinnya bahwa kalimat penutup dalam anekdot tersebut, yakni “Tobaaaat yo le”, adalah kunci pertama dan utama untuk membuka pintu-pintu keberkahan dan/atau kemudahan mengurai benang kusut pemikiran kaum LGBT dan para pendukungnya tentang penyimpangan jiwa yang mereka sedang derita. Dialektika tobat adalah solusi awal untuk meretas jalan lapang penyelesaian problematika LGBT. Tanpa dialektika tobat, maka wacana, diskursus dan bahkan praksis seputar LGBT, terutama bagi penderita dan pendukungnya, akan terus terjebak dalam kedangkalan dan sekaligus kesesatan rasionalisasi.

Bagaimanapun, standar normalitas pemikiran sangat berbahaya kalau diserahkan sepenuhnya dalam mekanisme demokratisasi yang kebenarannya dikendalikan oleh kekuatan “suara terbanyak”. Kalau “suara terbanyak” itu muncul dari lubuk hati yang tercerahkan oleh hidayah, itulah kebenaran sejati yang kita cari dan harus kita syukuri. Tetapi jika “suara terbanyak” itu muncul dari hati yang gelap gulita, jauh dari cahaya hidayah, itulah “kebenaran” palsu yang sesat dan menyesatkan. Perjuangan kaum LGBT dan para pendukungnya untuk mengupayakan legalisasi praktek-praktek menyimpang mereka, saya berharap bisa selalu kandas di ruang-ruang para penentu regulasi di negeri ini. Saya selalu berharap, regulator negeri ini masih selalu mengagungkan suara hati yang tercerahkan oleh hidayah, bukan yang lain, sebab tak sedikit orang menghubungkan LGBT sebagai sebuah singkatan dari Longsor, Gempa, Banjir, Tsunami. Dengan kata lain, LGBT bukan saja sebuah bencana, tetapi sekaligus juga sumber dari banyak bencana. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Di Balik Anekdot Seputar LGBT"