Puncak Bukit Kasih Sayang dan Pilpres 2019

Ba'da Subuh Sabtu 11 Agustus 2018, istri saya mengajak untuk kembali mengunjungi Jabal Rahmah yang berada di Padang Arafah, Makkah Al Mukarramah. Dari Hotel tempat kami menginap, yakni di Tharawat Zamzam, yang berada di kawasan Misfalah, Makkah, kami menumpang sebuah Taksi dengan tarif kesepakatan sebesar 40 SR (Saudi Riyal) sekali jalan. Saya menduga tarif tersebut termasuk lumrah di musim haji. Setelah Taksi melaju dengan kecepatan sedang, kurang dari 30 menit kemudian kami sudah sampai di kaki bukit Jabal Rahmah, dan langsung bergegas mendaki menuju puncak bukit melewati jalur bertangga yang sudah tersedia.

Subhanallah, di puncak Bukit Kasih Sayang itu, banyak hal penting yang menyeruak dalam benak saya. Satu di antaranya adalah, tentang Pilpres 2019 di Negeriku Indonesia tercinta, yang insya Allah tak lama lagi akan berlangsung. Tapi, bukankah saya harus netral. Ya, justru substansi netralitas itulah yang saya akan sampaikan di ruang ini, gumam saya dalam hati.

Puncak Jabal Rahmah, Arafah, 2018
Setelah Pasangan calon (Paslon), resmi ditetapkan,  dikotomisasi dua kubu pendukung masing-masing Paslon terasa semakin kontras. Potret dikotomisasi kubu itu tampil sangat vulgar di Medsos. Sejatinya, tidak ada masalah siapa mendukung siapa, tapi jika kemudian cara memberikan dukungan itu dikotori dengan menyebarluaskan berbagai macam hal negatif yang belum tentu benar terjadi pada diri seseorang dari Paslon, dan bahkan jika sudah nyata-nyata benar sekalipun, juga ada adab-adab penyampaiannya, ketika itu nuansa menuju Pilpres tampak seolah-olah sebagai arena "pembantaian" karakter kemanusiaan seseorang. Kasih sayang seperti tiba-tiba lenyap, tergantikan oleh serbuan fitnah, hoax, namimah, dan lain sebagainya yang sejenis. Ada memang sejumlah "kampanye" santun yang bisa kita nikmati, tapi jumlahnya sangat tidak signifikan, dan tampak seolah hanya sebagai riak-riak kecil di tengah kecamuk gelombang besar syahwat "pembunuhan" karakter seseorang.

Di puncak Bukit Kasih Sayang (Jabal Rahmah) ini, saya mencoba merorehkan sebuah catatan dari lubuk hati saya yang paling dalam, cara saya secara personal menghadapi Pilpres 2019. Qodarullah, Paslon sudah resmi ditetapkan, tinggal memantapkan dalam hati siapa di antara dua paslon tersebut yang akan dipilih. Karena ini berhubungan dengan urusan masa depan bangsa, dengan kata lain ini adalah urusan besar, maka hemat saya kita harus lebih memperkuat sandaran pada Zat Yang Maha Besar, memohon agar hati kita dicondongkan pada pilihan terbaik yang akan membawa kemaslahatan besar pada perjalanan kehidupan bangsa besar Indonesia tercinta ini.

Di sini saya ingin menegaskan, sepandai apapun kemampuan kita membaca masa depan, apakah itu masa depan seseorang, apalagi masa depan sebuah bangsa, prinsip pokok yang tidak akan pernah berubah sepanjang masa adalah: Maaliki Yaumiddin, bahwa tidak ada penguasa terbaik masa depan selain Allah sebagai Al-Malik. Titik. Semua informasi tentang masa depan yang bersumber bukan dari Allah dan Rasul-Nya, seluruhnya hanyalah prasangka, prediksi dan bahkan tak jarang hanya sebagai kumpulan hayalan semata.

Senapas dengan keyakinan di atas, maka menghadapi momen-momen krusial penentuan pilihan dari beberapa opsi yang ada,  fokus pada Shalat Istikharah adalah sebuah pilihan yang tepat untuk menghadirkan Al-Malik dalam kehidupan kita, dan insya Allah Dialah pada akhirnya yang akan menggerakkan hati dan tangan kita di dalam bilik suara pada saatnya nanti. Sibuk menyebarluaskan aneka berita, informasi, asumsi, atau apapun namanya yang berpotensi merugikan orang lain dan tentu saja diri sendiri, sama sekali bukan cara beradab dalam berdemokrasi. Cara-cara culas itu hanya mencederai demokrasi dan sekaligus memuntahkan energi negatif kita sebagai bangsa.

Saya mengapresiasi kawan-kawan yang tetap istiqomah menerapkan cara-cara terpuji dalam mengekspresikan dukungan pada salah satu Paslon, tanpa menyerempet atau menyinggung ruang-ruang kehormatan pribadi  seseorang. Memang, seperti itulah yang kita harapkan.Tetaplah di jalan kebenaran, untuk meraih keselamatan. Saya meyakini, sikap kita adalah masa depan kita. Di puncak Bukit Kasih Sayang itu,  saya merindukan kehidupan (berdemokrasi) yang penuh dengan kasih sayang. Wallahua'lam.

Post a Comment for "Puncak Bukit Kasih Sayang dan Pilpres 2019"