Dalam realita kehidupan, ada suara yang menyatukan, ada pula suara yang memecah. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban dan desa, suara bukan sekadar bunyi, tapi pernyataan kehadiran, ekspresi emosi, bahkan simbol ekonomi. Maka ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa yang menyebut praktik "sound horeg" sebagai haram dalam konteks tertentu, gemuruh respons pun menyeruak dari berbagai penjuru.
Di satu sisi, ada yang menyambut fatwa itu sebagai bentuk keberpihakan terhadap masyarakat yang selama ini lelah dengan kebisingan. Tapi di sisi lain, tidak sedikit pula yang menuding bahwa fatwa itu memberangus ruang ekonomi rakyat kecil.
Ketika Suara Tak Lagi Sekadar Bunyi
Yang dimaksud dengan “sound horeg” bukanlah seni, bukan pula musik secara keseluruhan. Ia merujuk pada fenomena suara keras yang berlebihan dan tidak terkendali, seperti konvoi keliling malam dengan speaker berteriak-teriak, hajatan dengan dentuman musik sampai dini hari, atau knalpot brong yang memekakkan telinga di jalan-jalan sempit. Fatwa tersebut tidak melarang hajatan, tidak pula mematikan profesi operator sound system. Ia hanya meminta satu hal: gunakan akal sehat dan rasa empati.
Dalam kehidupan bersama, kebebasan bukan tanpa batas. Setiap kebebasan yang kita miliki terikat oleh hak orang lain untuk hidup tenang. Ketika kegembiraan satu pihak menjadi gangguan bagi pihak lain, maka yang terjadi bukanlah harmoni, melainkan konflik yang dipaksakan. Inilah yang menjadi dasar substansial dari fatwa MUI tersebut: suara tidak boleh menjadi senjata yang merampas hak asasi orang lain atas ketenangan.
Pihak yang kontra kerap menyatakan bahwa fatwa ini bisa mematikan mata pencaharian warga kecil yang menggantungkan hidup pada usaha sound system. Ini keberatan yang masuk akal—jika kita memandang fatwa itu sebagai pelarangan total. Padahal tidak demikian. Fatwa itu bukan pelarangan absolut, melainkan penekanan terhadap aspek penggunaan yang melampaui batas kewajaran dan kemanusiaan. Dengan kata lain, para pelaku usaha tetap dapat beroperasi, tetapi dengan mengedepankan etika dan adab sosial.
Justru di sinilah letak potensi pembenahan ekonomi berbasis kearifan. Bisnis sound system bisa berkembang lebih sehat bila diarahkan pada penggunaan profesional: pernikahan yang tertata rapi, event berskala komunitas yang terjadwal, hingga penyediaan perangkat suara untuk edukasi dan dakwah. Potensi pasar tetap ada, namun dengan standar kualitas, bukan dengan gebyar yang membabi buta.
Sejujurnya, selama ini praktik “sound horeg” kerap identik dengan improvisasi liar, tanpa izin lingkungan, tanpa waktu yang tepat, bahkan kadang tanpa tanggung jawab jika terjadi kerusakan fasilitas atau kerusuhan sosial. Apakah model ekonomi seperti ini pantas dipertahankan tanpa evaluasi?
Perekonomian rakyat kecil seharusnya tidak ditumpukan pada kebisingan yang mencederai orang banyak. Kita memerlukan ekosistem usaha yang bukan hanya untung secara materi, tetapi juga memberi manfaat sosial dan mendidik masyarakat tentang batas. Justru fatwa ini bisa menjadi peluang edukatif agar para pelaku usaha sound system meningkatkan kualitas layanan, menggunakan teknologi peredam suara, menyesuaikan jam operasional, dan membangun kepercayaan dari masyarakat.
Lagipula, setiap sektor usaha sehat pasti berhadapan dengan regulasi. Usaha kuliner harus patuh pada standar kebersihan. Usaha angkutan harus mengikuti aturan emisi dan keselamatan. Maka tidak berlebihan bila usaha audio juga diarahkan untuk memperhatikan etika kebisingan. Ini bukan bentuk pembunuhan ekonomi, tapi penataan yang beradab.
Ekonomi, Estetika, dan Etika
Mari kita jujur, betapa banyak orang tua yang mengeluh anaknya sulit tidur karena suara hajatan dari seberang jalan. Betapa sering pelajar tidak bisa belajar dengan tenang karena malam harinya disergap dentuman remix di kampungnya. Bahkan banyak pasien di rumah yang terpaksa menutup telinga karena tidak tahan dengan volume suara yang tidak diundang. Semua itu bukan soal suka atau tidak suka pada musik. Ini soal empati.
Islam sebagai agama rahmat tidak pernah melarang kebahagiaan. Tetapi Islam juga tidak pernah membenarkan kesenangan yang menjelma menjadi kedzaliman terhadap orang lain. Maka ketika MUI mengeluarkan fatwa ini, substansinya adalah panggilan untuk kembali beradab dalam bersuara.
Fatwa ini juga tidak berdiri sendirian. Ia merefleksikan keresahan yang selama ini hanya dibisikkan warga. Banyak yang merasa tidak nyaman namun takut bicara. Banyak yang menahan amarah demi menjaga hubungan baik dengan tetangga. Fatwa ini seperti mewakili suara-suara sunyi yang selama ini terbungkam oleh kerasnya speaker.
Dalam konteks hukum positif pun, kebisingan berlebihan sudah diatur sebagai bentuk gangguan. Tetapi lemahnya penegakan membuat praktik “sound horeg” seolah kebal hukum. Di sinilah posisi moral dari MUI dibutuhkan: untuk menggugah kesadaran kolektif, bukan untuk mengadili.
Bukan berarti fatwa akan menyelesaikan semua masalah. Namun ia bisa menjadi pintu awal dari percakapan publik yang lebih sehat. Pemerintah daerah bisa menjadikannya rujukan untuk menyusun peraturan tentang batasan kebisingan yang lebih aplikatif. Organisasi masyarakat bisa menjadikannya bahan diskusi dalam membentuk kode etik lingkungan.
Dan pada akhirnya, masyarakat bisa menjadikannya cermin: apakah cara kita merayakan hidup selama ini sudah menghormati kehidupan orang lain?
Kita tidak bisa terus menerus hidup dalam suasana yang bising. Dunia sudah cukup gaduh oleh berita palsu, fitnah digital, dan kegaduhan politik. Setidaknya dalam lingkungan sekitar, mari ciptakan ruang yang memberi tempat bagi keheningan, istirahat, dan ketenangan jiwa.
Kita juga harus menyadari bahwa tidak semua bentuk hiburan harus diluapkan lewat dentuman. Ada banyak bentuk seni yang membumi, merasuk ke hati, tanpa harus mengguncang tembok rumah orang lain. Bahkan musik yang indah pun tahu kapan harus diam.
Fatwa itu sejatinya tidak meminta kita untuk berhenti bersuka cita. Ia hanya mengingatkan kita bahwa suka cita bukanlah satu-satunya nilai yang harus dijunjung. Ada nilai lain yang lebih halus namun agung: tahu diri, tahu tempat, dan tahu waktu.
Mereka yang merasa terusik oleh fatwa ini mungkin sedang terpantul oleh cermin yang mereka hindari. Bahwa selama ini mereka terlalu terbiasa memaksa dunia untuk ikut dalam ritme mereka. Padahal tidak semua orang ingin ikut menari.
Dunia yang terlalu keras akan melahirkan hati yang tumpul. Kita perlu ruang untuk mendengar, bukan hanya dengan telinga tapi juga dengan perasaan. Dan suara yang benar adalah suara yang tahu kapan harus berhenti.
Fatwa itu, dalam segala keterbatasannya, adalah seruan agar kita kembali mendengar satu sama lain. Bukan dengan volume, tapi dengan rasa.
Jika keheningan telah menjadi barang mahal, maka memperjuangkannya adalah tindakan luhur. Bukan karena kita anti musik. Tapi karena kita cinta kemanusiaan. Wallahua'lam.
Post a Comment for "Di Balik Riuh 'Sound Horeg': Perenungan atas Fatwa MUI dan Suara Nurani"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.