Mewaspadai Agenda Terselubung di Balik Sentimen Negatif terhadap Keturunan Yaman di Indonesia

Mewaspadai Agenda Terselubung di Balik Sentimen Negatif terhadap Keturunan Yaman di Indonesia

Di negeri kita tercinta Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, tampak gejala-gejala merebaknya sentimen negatif terhadap komunitas keturunan Arab, khususnya yang memiliki akar dari Hadramaut, Yaman. Narasi-narasi yang tersebar secara sporadis di ruang digital maupun perbincangan masyarakat mencerminkan pandangan yang mengarah pada pengucilan bahkan penolakan kehadiran mereka dalam kehidupan sosial bangsa ini.

Padahal, jika kita mundur ke belakang dan menelisik lembaran sejarah, sangat jelas bahwa bangsa ini tidak pernah bisa dilepaskan dari peran besar dan kontribusi komunitas keturunan Yaman dalam pembentukan identitas keislaman, keilmuan, dan bahkan kenegaraan.

Yaman dan Jejak Awal Islam di Nusantara

Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidak dapat dipisahkan dari peran para saudagar dan ulama dari Hadramaut. Mereka bukan hanya datang membawa barang dagangan, tapi juga membawa misi dakwah yang damai, santun, dan mendidik. Islam yang pertama kali diterima masyarakat Indonesia adalah Islam yang ramah, bukan yang marah—dan itu semua dibentuk oleh pola pendekatan kultural yang dilakukan para keturunan Yaman.

Nama-nama besar seperti Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) diyakini merupakan keturunan dari ulama Yaman. Demikian pula banyak Wali Songo lainnya memiliki koneksi silsilah atau jaringan intelektual dengan ulama-ulama Hadramaut. Di Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan, hingga Sulawesi, pengaruh para dai dan saudagar Hadrami sangat kuat dalam mewarnai masyarakat lokal. Bahkan dalam pembentukan pesantren, tradisi keilmuan, dan sistem sosial, kontribusi mereka terpatri begitu dalam.

Dari Jejak Kontribusi ke Lubang Stigma

Namun zaman berubah. Di era disrupsi informasi, narasi identitas mengalami kontestasi yang tak terhindarkan. Beberapa pihak dengan gegabah menggeneralisasi identitas "Arab" sebagai simbol eksklusivitas, konservatisme, bahkan radikalisme. Sentimen ini diperparah oleh dinamika politik internasional dan narasi keagamaan yang dipolitisasi.

Kita patut bertanya: mengapa kita begitu mudah lupa? Mengapa bangsa yang besar ini tidak memberi ruang hormat kepada kelompok yang telah turut menenun kain sejarahnya sendiri? Padahal banyak keturunan Hadramaut di Indonesia yang telah menjadi pahlawan nasional, pejuang kemerdekaan, ulama besar, budayawan, bahkan penggerak ekonomi rakyat.

Refleksi ini penting agar kita tidak terjerumus dalam jebakan sejarah yang terputus. Di saat bangsa-bangsa lain berlomba menguatkan akar identitas dan merangkul semua elemen pembentuk bangsanya, kita justru terancam menjadi bangsa yang alergi pada jejak emasnya sendiri.

Sentimen terhadap keturunan Yaman di Indonesia seharusnya tidak dimaknai sebagai realitas sosial yang lumrah. Ini adalah sinyal bahaya atas mulai terputusnya rantai sejarah dan nilai-nilai keindonesiaan kita. Kita perlu merekonstruksi ingatan kolektif, menata ulang narasi sejarah secara jujur, dan menolak setiap bentuk pengucilan berbasis identitas.

Sebuah fakta tak terbantahkan, Indonesia tidak dibangun oleh satu etnis, satu bahasa, satu pulau. Ia adalah hasil kerja sama lintas budaya, lintas darah, dan lintas jiwa—dan dalam mozaik itu, keturunan Yaman telah menuliskan bab penting yang tidak boleh dihapus. Berikut ini adalah poin-poin penting untuk digaris bawahi ulang.

Fenomena munculnya sentimen negatif terhadap Yaman di Indonesia merupakan hal yang perlu disikapi dengan sangat hati-hati, terutama dalam konteks sejarah panjang hubungan antara bangsa Indonesia dan Yaman yang sejatinya sangat dalam dan bernilai strategis secara spiritual, budaya, dan sosiologis.

Hubungan Historis: Yaman dan Nusantara

Yaman, khususnya wilayah Hadhramaut, adalah salah satu wilayah asal muasal para ulama, pedagang, dan penyebar Islam yang pertama kali datang ke Nusantara. Tokoh-tokoh keturunan Arab, termasuk para Wali Songo, banyak yang memiliki garis keturunan dari Hadhramaut. Pengaruh mereka bukan hanya dalam penyebaran Islam, tetapi juga dalam membentuk peradaban, tata sosial, dan nilai-nilai akhlak masyarakat kita.

Kontribusi Keturunan Arab di Indonesia

Keturunan Yaman yang disebut sebagai Hadhrami di Indonesia telah banyak berkontribusi dalam pembangunan bangsa: dari tokoh pergerakan seperti Haji Agus Salim dan Abdurrahman Baswedan, hingga tokoh keagamaan, pengusaha, dan budayawan. Meniadakan peran mereka sama saja dengan mengingkari sebagian dari sejarah Indonesia itu sendiri.

Salah Arah dalam Menyikapi Konflik Timur Tengah

Jika sentimen negatif ini muncul sebagai imbas konflik atau persaingan antarmazhab yang terjadi di Timur Tengah (misalnya konflik antara Syiah dan Sunni, atau ketegangan geopolitik antara Iran, Arab Saudi, dan sekutunya), maka masyarakat Indonesia harus lebih cerdas memfilter. Jangan sampai konflik yang tidak ada kaitannya langsung dengan tanah air justru mengobarkan api perpecahan di dalam negeri. Indonesia bukan medan pertempuran Timur Tengah.

Fenomena Islamofobia Terselubung?

Ada kemungkinan bahwa sentimen anti-Yaman yang muncul di beberapa kalangan adalah bagian dari upaya sistematis untuk melemahkan jejaring Islam tradisional yang berpijak pada sanad, tarekat, dan nilai-nilai keilmuan klasik. Yaman, terutama Hadhramaut, adalah pusat ilmu dan spiritualitas Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sentimen negatif terhadap Yaman bisa jadi adalah cara licik untuk memutus kesinambungan sanad keilmuan dan keteladanan moral umat Islam Indonesia.

Perlu Klarifikasi dan Edukasi

Masyarakat perlu diedukasi tentang siapa sebenarnya Yaman itu dalam sejarah kita. Jangan sampai narasi yang dibentuk oleh segelintir pihak yang memiliki agenda terselubung menghapus hubungan berabad-abad antara dua bangsa yang sejatinya bersaudara. Para ulama dan akademisi harus turun tangan menyuarakan fakta dan menenangkan keresahan yang tidak berdasar.

Jangan Jadi Bangsa yang Amnesia Sejarah

Jika benar Yaman ingin "diusir" secara kultural dari Indonesia, maka itu tanda bahwa kita sedang mengalami krisis jati diri. Sebab, dalam denyut nadi bangsa ini, mengalir pula darah dan ajaran dari para leluhur yang datang dari negeri para nabi, termasuk Yaman.

Yaman bukan sekadar entitas geografis atau bangsa asing. Ia adalah bagian dari sejarah batin Nusantara. Menumbuhkan sentimen negatif terhadap Yaman berarti menyakiti diri sendiri—seperti menebang akar dari pohon yang sedang tumbuh. Dalam menghadapi isu ini, yang dibutuhkan bukan emosi dan prasangka, tapi ilmu, ketenangan, dan penghormatan terhadap sejarah. Wallahua'lam.

Post a Comment for "Mewaspadai Agenda Terselubung di Balik Sentimen Negatif terhadap Keturunan Yaman di Indonesia"