Di tengah suara riuh demokrasi Indonesia, sering kali kita dihadapkan pada dua kutub yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada suara publik yang menuntut perubahan cepat, transparansi, dan keterlibatan lebih luas dalam pengambilan keputusan. Sementara di sisi lain, terdapat kepentingan politik, birokrasi, dan kepentingan elite yang kerap menuntut stabilitas, kompromi, dan keberlangsungan sistem yang ada. Pertemuan dua arus besar itu tidak jarang menciptakan gelombang yang mengguncang fondasi demokrasi kita.
Demokrasi Indonesia, yang lahir dari perjalanan panjang reformasi, ibarat sebuah kapal besar yang berlayar di laut lepas. Bahtera itu membawa berjuta penumpang dengan tujuan bersama, mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan bangsa. Namun, arah layar tidak selalu sejalan. Ada yang menginginkan kapal ini melaju cepat, ada pula yang memilih berhati-hati agar tidak karam di tengah badai. Pertanyaannya adalah, bagaimana agar kapal itu tetap tangguh, tidak terhempas, tidak terombang-ambing, dan mampu sampai pada tujuan tanpa kehilangan penumpang di tengah perjalanan?
Di titik krusial itulah pentingnya “jalan tengah”, yakni sebuah ruang yang tidak mengorbankan idealisme, namun juga tidak menutup mata terhadap realitas. Jalan tengah bukan berarti kompromi tanpa prinsip, melainkan cara untuk merawat demokrasi agar tetap hidup, sehat, dan tumbuh sesuai aspirasi rakyat.
Gelombang demonstrasi dengan teriakan “bubarkan DPR” yang sempat menggaung di ruang publik Indonesia menyisakan pertanyaan mendasar tentang arah demokrasi kita. Teriakan itu tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan sebagai ekspresi kekecewaan, kejengahan, dan keresahan masyarakat terhadap kinerja lembaga legislatif. Namun, di balik teriakan keras itu, kita perlu mencari jalan tengah yang lebih matang. Resonansi teriakan itu sejatinya menggugah kesadaran kolektif kita sebagai anak-anak bangsa untuk menjawab tantangan ini: bagaimana aspirasi publik bisa tersalurkan dengan baik tanpa harus meruntuhkan sendi-sendi demokrasi yang telah dibangun dengan penuh perjuangan.
Demokrasi Indonesia lahir dari rahim sejarah yang panjang. Sulit kita melupakan bahwa reformasi 1998 adalah momentum krusial yang membebaskan bangsa ini dari cengkeraman otoritarianisme, dimana salah satu buah manis reformasi adalah hadirnya DPR yang dipilih langsung oleh rakyat. Walaupun penuh kelemahan, lembaga legislatif tetaplah sebagai simbol keterwakilan. Karena itu, wajar jika kemudian publik kecewa ketika DPR dianggap tidak memenuhi ekspektasi. Namun demikian, pertanyaan kritisnya adalah: apakah solusi terbaik benar-benar dengan membubarkan lembaga tersebut?
Bukan rahasia umum lagi, bahwa kekecewaan masyarakat sering kali berakar dari rasa tidak didengar. Banyak kebijakan yang lahir dari DPR dianggap lebih menguntungkan kelompok tertentu ketimbang rakyat luas. Dari UU yang kontroversial, praktik politik uang, hingga kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota parlemen, semuanya menjadi bahan bakar kemarahan publik. Di mata rakyat, DPR tidak jarang terjebak dalam citra negatif. Karena itu, seruan keras “bubarkan DPR” bisa dibaca sebagai simbol kuat terjadinya erosi kepercayaan publik terhadap lembaga yang seharusnya berintegritas itu.
Meskipun demikian, patut menjadi catatan kita bersama, bahwa demokrasi sejatinya tidak bekerja dengan jalan pintas. Selama kita masih sepakat memilih sistem demokrasi, maka membubarkan DPR tentu bukan sebuah solusi. Membubarkan DPR bisa menjadi pintu masuk baru menuju kekacauan yang bolehjadi lebih eskalatif lagi. Tanpa DPR, dalam sistem demokrasi, siapa yang akan membuat undang-undang? Tanpa DPR, siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan? Jika semua dilebur, relakah kita menyerahkan masa depan bangsa kepada sistem yang otoriter?
Di titik krusial itulah sebenarnya menjadi penting bagi kita untuk menegaskan kembali makna demokrasi. Bahwa demokrasi itu bukan hanya soal memilih wakil, tetapi sekaligus juga menjaga mekanisme koreksi terhadap wakil itu sendiri. Masyarakat harus punya ruang untuk menyalurkan aspirasi, baik melalui jalur formal seperti pemilu maupun jalur non-formal seperti aksi-aksi demonstrasi damai, petisi, dan kritik terbuka. Seruan keras "bubarkan DPR" itu, terlepas dari absurditas legitimasinya, yang pasti suara lantang itu sepatutnya dijadikan sebagai alarm kuat bagi DPR untuk berbenah. Benar-benar berbenah, bukan sekadar basa-basi.
Hal penting lainnya, kritik masyarakat hendaknya tidak dipandang sebagai ancaman. Justru di situlah esensi demokrasi: adanya kebebasan untuk menyuarakan pendapat. DPR yang bijak adalah DPR yang mau mendengar, bukan yang alergi terhadap kritik. Bukan yang sibuk melontarkan nyinyiran balik kepada publik dengan bahasa yang penuh keangkuhan, bahasa-bahasa mati rasa alias miskin empati. Tugas legislator adalah memastikan bahwa jeritan rakyat tidak teredam di balik gedung-gedung megah parlemen.
Pada saat yang sama, masyarakat juga perlu membangun kualitas kritik. Demonstrasi yang berujung pada seruan “bubarkan DPR” memang menggugah, tetapi tidak boleh berhenti di situ. Aspirasi yang konstruktif akan lebih bermakna jika terejawantah dalam bentuk dorongan untuk perbaikan mekanisme rekrutmen politik, tuntutan keterbukaan, serta penguatan akuntabilitas. Kritik yang cerdas tidak hanya meruntuhkan aneka bentuk kelemahan dan arogansi, tetapi juga membangun sendi-sendi dan martabat kehidupan demokrasi itu sendiri.
Di situlah sejatinya letak pencarian jalan tengah. Bahwa demokrasi Indonesia membutuhkan keseimbangan antara hak publik untuk menuntut dan kewajiban lembaga negara untuk memperbaiki diri. Jika dua hal dimaksud bertemu, maka kita tidak perlu terjebak pada wacana ekstrem: antara membiarkan semua tanpa koreksi atau membubarkan seluruhnya.
Sejarah dunia memberi kita banyak pelajaran. Negara-negara yang meruntuhkan lembaga perwakilan tanpa menyiapkan alternatif, sering kali berakhir dalam lingkaran kekuasaan yang otoriter. Sebaliknya, negara-negara yang berani mereformasi sistem perwakilan secara gradual justru bisa memperkuat demokrasi mereka. Indonesia sepatutnya belajar dari pengalaman itu.
Dalam konteks Indonesia saat ini, solusi bukanlah membubarkan DPR, melainkan memperbaikinya. Perbaikan ini bisa dilakukan dalam beberapa level. Pertama, melalui mekanisme pemilu yang lebih transparan, adil, dan bebas dari politik uang. Kedua, memperkuat lembaga pengawas dan etika, sehingga anggota DPR yang melanggar bisa segera ditindak. Ketiga, mendorong partisipasi publik yang lebih luas dalam proses legislasi.
Ketika rakyat memiliki akses lebih besar dalam mengawal undang-undang, maka DPR tidak bisa seenaknya. Transparansi adalah kunci agar kinerja DPR bisa terus dipantau. Teknologi digital bisa menjadi alat bantu: publikasi rapat, rekam jejak legislator, hingga forum konsultasi daring. Semua itu akan memperkecil jarak antara rakyat dan wakilnya.
Selain itu, partai politik sebagai pintu masuk utama bagi calon legislator juga harus berbenah. Jika partai masih dikuasai elit semata, maka DPR akan tetap sulit berubah. Demokrasi internal partai harus ditegakkan, agar kandidat yang lahir benar-benar mewakili suara rakyat, bukan hanya kepentingan pemodal.
Kita tidak boleh lelah untuk terus memperjuangkan kualitas demokrasi. Reformasi tidak pernah selesai. Reformasi adalah proses panjang. Seruan “bubarkan DPR” hendaknya dipahami bukan sebagai ajakan literal, melainkan sebagai tamparan keras bagi wakil rakyat yang abai. Dari situ, semoga lahir kesadaran baru bahwa kepercayaan rakyat adalah modal utama.
Kepercayaan adalah sesuatu yang rapuh. Sekali hilang, sulit kembali. Karena itu, DPR perlu membangun kembali trust publik melalui tindakan nyata. Menghadirkan kebijakan yang berpihak, mengurangi praktik transaksional, serta menjaga integritas personal adalah langkah-langkah yang tidak bisa ditawar.
Di sisi lain, publik juga perlu menumbuhkan kedewasaan demokrasi. Demokrasi bukan hanya tentang menuntut, tetapi juga tentang terlibat. Jika kita hanya berteriak dari luar tanpa mau masuk ke dalam proses, perubahan akan berjalan lambat. Maka, keterlibatan dalam pemilu, partisipasi dalam diskusi publik, hingga advokasi isu-isu lokal adalah bentuk kontribusi nyata.
Dengan begitu, jalan tengah yang kita maksud bukanlah kompromi setengah hati, melainkan jalan yang mengakui bahwa semua pihak punya peran strategis. Publik berhak menuntut, DPR wajib memperbaiki diri, partai politik harus berbenah, dan pemerintah berkewajiban memfasilitasi ruang demokratis yang sehat.
Di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, kita memang butuh kebijaksanaan kolektif. Demokrasi Indonesia masih muda, rapuh, dan penuh ujian. Namun, kita tidak boleh pesimis. Justru dalam guncangan seperti inilah demokrasi diuji. Apakah ia bisa tumbuh menjadi lebih dewasa atau justru terjerumus dalam ekstremitas.
Sesungguhnya kita tidak sedang mencari demokrasi yang sempurna, karena itu mustahil. Yang kita butuhkan adalah demokrasi yang terus belajar. Setiap kritik adalah bahan bakar, setiap kekecewaan adalah pelajaran, dan setiap kegagalan adalah kesempatan untuk memperbaiki.
Seruan “bubarkan DPR” harus kita dengar dengan hati terbuka, sekaligus kita jawab dengan pikiran jernih. Bukan dengan amarah balasan, bukan pula dengan pembenaran membabi buta. Dan jawaban terbaik adalah reformasi yang nyata: transparansi, integritas, dan keberpihakan.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kesediaan semua pihak untuk mencari jalan tengah. Bukan jalan yang mematikan kritik, bukan pula jalan yang meruntuhkan institusi. Jalan tengah itu adalah jalan dialog, jalan kesabaran, dan jalan komitmen pada perbaikan.
Jika jalan itu yang kita tempuh, maka demokrasi Indonesia bisa terus tumbuh, meski ada cacat dan luka. Jika jalan itu yang kita pilih, maka kita bisa tetap menjaga ruh reformasi tetap hidup, yakni terwujudnya bangsa yang adil, terbuka, dan mendengar suara rakyatnya.
Akhirnya, di hadapan kita, pilihan sudah jelas: apakah kita ingin terjebak dalam lingkaran penyampaian aspirasi secara rigid, ataukah kita memilih jalan tengah yang matang, elegan, dan penuh harapan. Baarokallahu fiikum.
Post a Comment for "Mencari Jalan Tengah: Aspirasi Publik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.