Ketika sebuah pernyataan pejabat publik menjadi trending di media sosial, ada dua hal yang biasanya berjalan beriringan: perhatian yang besar dari publik, dan sorotan tajam terhadap setiap detail kata-kata yang diucapkan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi menjadi bagian dari dinamika demokrasi modern di seluruh dunia.
Kasus yang menimpa Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menjadi contoh aktual yang dapat dijadikan bahan pembelajaran. Ia menyampaikan pernyataan tentang kepemilikan tanah yang memicu reaksi luas. Bagi sebagian orang, ucapan tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap hak milik pribadi. Bagi yang lain, ini hanya salah kaprah komunikasi.
Alarm Kolektif Seluruh Pejabat Publik
Dalam konteks pemerintahan, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan isi kebijakan, melainkan juga bagaimana kebijakan itu diterima publik. Kalimat yang benar secara hukum bisa menjadi kontroversial jika disampaikan tanpa konteks yang memadai. Begitu pula sebaliknya, niat yang baik dapat kehilangan makna jika dibungkus dengan gaya yang kurang tepat.
Kata-kata adalah aset berharga bagi seorang pejabat publik. Ia bisa membangun kepercayaan, atau sebaliknya, meruntuhkannya dalam hitungan detik. Dalam era media sosial, satu potongan video atau kutipan dapat menyebar jauh melampaui audiens awalnya, tanpa ada kesempatan untuk memberikan penjelasan lengkap.
Apa yang terjadi pada Nusron Wahid memperlihatkan bagaimana humor atau gaya bicara santai yang mungkin terasa cair di forum tertentu, dapat memunculkan tafsir berbeda ketika keluar ke ruang publik. Masyarakat cenderung menilai berdasarkan bunyi literal ucapan, bukan maksud batin pembicara.
Dalam teori komunikasi, dikenal prinsip audience-centered. Artinya, yang menjadi pusat perhatian bukanlah apa yang ingin kita sampaikan, melainkan bagaimana pesan itu dipahami oleh pendengar. Pejabat publik yang memahami prinsip ini akan memilih kata-kata dengan pertimbangan matang, meminimalkan potensi salah tafsir.
Penting juga untuk diingat bahwa isu agraria, tanah, dan hak kepemilikan adalah topik sensitif di Indonesia. Sejarah panjang konflik tanah, ketimpangan distribusi, hingga trauma rakyat terhadap kebijakan masa lalu membuat masyarakat lebih waspada terhadap ucapan yang menyentuh area ini.
Maka, setiap pejabat yang berbicara tentang tanah sebaiknya memisahkan secara tegas antara tanah milik negara, tanah berstatus HGU atau HGB, dan tanah hak milik pribadi. Perbedaan ini bukan sekadar teknis hukum, tetapi menyangkut rasa aman masyarakat terhadap hak mereka.
Ketika penjelasan teknis tidak diiringi kejelasan batasan, publik bisa menganggap kebijakan sebagai ancaman. Di sinilah seni komunikasi kebijakan menjadi penting: menguraikan substansi tanpa mengorbankan rasa kepercayaan publik.
Permintaan maaf Nusron Wahid merupakan langkah yang patut diapresiasi. Mengakui kekeliruan dalam pilihan kata menunjukkan sikap terbuka untuk belajar. Namun, momen ini seharusnya menjadi alarm kolektif bagi semua pejabat publik, bahwa komunikasi tidak kalah penting dibandingkan substansi kebijakan itu sendiri.
Belajar dari peristiwa ini, ada baiknya setiap pejabat memiliki semacam toolkit komunikasi publik. Isinya bisa meliputi prinsip-prinsip dasar berbicara di depan publik, strategi menghadapi isu sensitif, hingga cara merespons kritik dengan elegan.
Konsultasi dengan tim komunikasi sebelum menyampaikan kebijakan juga menjadi kebutuhan. Dalam banyak kasus, tim inilah yang dapat membantu menakar potensi dampak dari sebuah kalimat sebelum keluar ke publik.
Selain itu, simulasi atau uji publik terbatas bisa dilakukan untuk menguji bagaimana masyarakat akan memahami pesan. Dengan begitu, risiko salah tafsir dapat diminimalisir sejak awal.
Publik sendiri juga perlu memahami bahwa potongan ucapan yang viral di media sosial belum tentu mencerminkan keseluruhan maksud. Bijak dalam menilai dan mau mencari klarifikasi adalah bagian dari etika bermedia.
Namun, etika bermedia dari publik tidak bisa dijadikan alasan bagi pejabat untuk lengah. Posisi pejabat publik memang menuntut standar kehati-hatian yang lebih tinggi, karena kata-katanya memiliki bobot kebijakan.
Perlu disadari, setiap kali seorang pejabat berbicara, ia bukan sekadar mewakili dirinya sendiri, melainkan institusi, jabatan, dan bahkan citra negara. Akibatnya, resonansi ucapannya menjadi jauh lebih besar daripada orang biasa.
Fenomena viral ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat kini menjadi lebih aktif mengawasi. Kecepatan respons publik adalah cerminan dari tingkat literasi digital dan kesadaran politik yang terus tumbuh.
Bagi pejabat publik, ini berarti ruang untuk berimprovisasi dalam berbicara semakin sempit. Setiap kalimat yang keluar akan dicatat, dianalisis, dan bisa menjadi bahan diskusi nasional dalam hitungan jam.
Namun, bukan berarti pejabat harus kaku atau kehilangan sentuhan manusiawi. Justru, gaya bicara yang hangat dan membumi tetap dibutuhkan, asalkan disertai kejelasan maksud dan kehati-hatian dalam memilih kata.
Ada pepatah yang mengatakan: "Kata yang keluar dari mulut adalah anak panah yang tak bisa ditarik kembali." Dalam politik modern, anak panah itu kini dilengkapi pengeras suara global bernama media sosial.
Dampak dari satu ucapan bisa melampaui batas wilayah, bahkan lintas negara. Video berisi pernyataan pejabat bisa ditonton warga diaspora, media asing, hingga analis kebijakan internasional.
Oleh karena itu, setiap kata menjadi bagian dari diplomasi tak langsung. Kesalahan kecil dalam konteks domestik bisa dipelintir menjadi citra negatif di mata internasional.
Dari sisi psikologis, masyarakat juga cenderung memberi makna pada nada dan ekspresi pembicara. Senyum yang dimaksudkan untuk mencairkan suasana bisa diartikan sebagai meremehkan masalah.
Di sinilah seni komunikasi politik bertemu dengan empati. Pejabat yang peka akan mencoba merasakan bagaimana publik akan menafsirkan kata dan ekspresi mereka.
Pelajaran penting lainnya adalah perlunya real-time monitoring terhadap reaksi publik. Ketika sebuah pernyataan mulai menuai kontroversi, respons cepat dan terukur dapat mencegah rumor berkembang liar.
Sayangnya, sering kali respons itu datang terlambat, sehingga ruang interpretasi sudah dipenuhi oleh narasi yang tak terkendali. Dalam kasus Nusron Wahid, permintaan maaf datang setelah topik menjadi viral besar.
Jika respons klarifikasi keluar lebih cepat, mungkin gelombang persepsi negatif dapat diredam. Timing dalam komunikasi publik sama pentingnya dengan isi pesannya.
Selain waktu, saluran komunikasi juga menentukan. Klarifikasi yang disampaikan langsung oleh pejabat melalui kanal resmi lebih meyakinkan daripada sekadar rilis tertulis dari staf.
Keterbukaan dalam menjelaskan konteks kebijakan adalah bentuk penghormatan terhadap publik. Masyarakat yang merasa dihormati akan lebih mudah menerima klarifikasi, meskipun awalnya merasa resah.
Momentum Literasi Kebijakan
Sementara itu, bagi publik, kejadian seperti ini bisa menjadi momen literasi kebijakan. Memahami istilah seperti HGU, HGB, dan tanah hak milik dapat membantu mengurai mana yang termasuk ranah kebijakan negara dan mana yang sepenuhnya hak pribadi.
Keseimbangan antara kehati-hatian pejabat dan pemahaman publik inilah yang menjadi kunci komunikasi demokratis yang sehat.
Dalam jangka panjang, pemerintah bisa mempertimbangkan pelatihan rutin komunikasi publik untuk semua pejabat, terutama yang sering menjadi wajah kebijakan di media.
Pelatihan ini tidak hanya mengajarkan teknik berbicara, tetapi juga memberikan pemahaman tentang persepsi publik, sensitivitas isu, dan strategi mitigasi krisis.
Sebab, krisis komunikasi bisa muncul dari hal yang sepele, bahkan dari satu kata yang dianggap menyinggung. Dalam dunia politik, kerugian dari krisis komunikasi bisa lebih besar daripada krisis kebijakan itu sendiri.
Pejabat publik yang matang akan melihat setiap momen kontroversi sebagai kesempatan belajar. Ia tidak hanya fokus membela diri, tetapi juga mengevaluasi proses komunikasi agar lebih baik di masa depan.
Di sisi lain, publik yang bijak akan memberi ruang bagi pejabat untuk memperbaiki diri. Demokrasi sehat dibangun dari interaksi kritis namun tetap konstruktif antara pemimpin dan rakyat.
Kasus Nusron Wahid memperlihatkan bahwa kesalahpahaman bisa menjadi peluang. Dari situ, muncul diskusi tentang kepemilikan tanah, fungsi negara, dan batas kewenangan dalam mengatur sumber daya.
Diskusi ini, jika dikelola dengan baik, dapat melahirkan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat sekaligus lebih transparan dalam penerapannya.
Namun, peluang ini hanya bisa tercapai jika komunikasi dijadikan prioritas, bukan sekadar pelengkap kebijakan. Kata-kata yang tepat dapat membuka pintu dialog, sementara kata yang keliru bisa menutupnya rapat-rapat.
Bagi pejabat publik, pelajaran ini sederhana namun mendalam: jangan pernah meremehkan kekuatan kata, dan jangan pernah lupa bahwa publik adalah mitra, bukan sekadar audiens.
Bagi masyarakat, pelajarannya adalah untuk terus mengasah kemampuan memilah informasi, memahami konteks, dan terlibat dalam diskusi kebijakan secara cerdas.
Dengan begitu, setiap momen viral seperti ini tidak hanya menjadi ajang sindiran atau kemarahan, tetapi juga menjadi kesempatan bersama untuk belajar dan memperkuat kualitas demokrasi.
Pada akhirnya, komunikasi yang baik adalah jembatan. Ia menghubungkan niat baik pembuat kebijakan dengan harapan rakyat. Dan seperti jembatan, ia harus dibangun dengan pondasi yang kuat, bahan yang tepat, dan perawatan yang berkelanjutan.
Jika jembatan itu roboh karena kelalaian kata, maka bukan hanya reputasi yang runtuh, tetapi juga kepercayaan yang selama ini dibangun dengan susah payah.
Momen Nusron Wahid menjadi cermin bersama: bahwa di balik setiap trending topic, ada pelajaran berharga yang menunggu untuk dipetik, selama kita mau melihatnya dengan hati yang terbuka. Baarokallahu fiikum.
Post a Comment for "Nusron Wahid, Tanah, dan Seni Merawat Kepercayaan Publik"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.