Joget yang Salah Momentum: Potret Krisis Empati Para Pejabat

Joget yang Salah Momentum: Potret Krisis Empati Para Pejabat

Tidak ada yang salah dengan joget. Joget adalah ekspresi kegembiraan, ungkapan syukur, bahkan bisa menjadi sarana kebersamaan dalam budaya masyarakat. Namun, menjadi masalah besar ketika joget dilakukan pada momentum yang salah, di hadapan rakyat yang sedang berduka, atau dalam suasana bangsa yang tengah menghadapi luka. Dari sinilah kita menyaksikan bagaimana sebuah simbol sederhana berubah menjadi potret krisis empati para pejabat.

Fenomena pejabat berjoget-ria di atas panggung dalam suasana yang seharusnya penuh keprihatinan bukanlah sekadar kesalahan kecil, tetapi sekaligus juga adalah cermin retak dari ketidakpekaan, ketidakmampuan membaca situasi, dan kegagalan dalam merasakan denyut nadi rakyat. Empati yang mestinya menjadi inti kepemimpinan justru lenyap di balik tawa dan goyangan tubuh yang tak mengenal waktu.

Bagaimanapun, pejabat adalah figur publik. Setiap gestur, kata, dan tindakan para pejabat memiliki makna yang jauh lebih dalam dibandingkan orang biasa. Joget seorang pejabat tidak berhenti sebagai hiburan panggung semata; ia menjelma menjadi sebuah simbol, pesan, bahkan narasi politik. Celakanya, ketika joget itu salah momentum, pesan yang sampai ke masyarakat bukanlah keceriaan, melainkan pengkhianatan rasa.

Dalam sejarah kepemimpinan, empati selalu menempati posisi sentral, sekaligus krusial. Pemimpin yang besar adalah mereka yang mampu menyelami rasa rakyatnya. Nabi Muhammad SAW adalah teladan paling agung: beliau menangis ketika melihat penderitaan umatnya, tersentuh ketika seorang anak kecil kehilangan ayahnya, dan selalu menghadirkan kelembutan di tengah badai penderitaan. Pemimpin yang kehilangan empati, sesungguhnya sedang kehilangan ruh kepemimpinannya.

Fenomena “joget salah momentum” adalah metafora dari krisis kepemimpinan yang lebih dalam. Fenomena getir itu menunjukkan betapa pejabat kita lebih sibuk dengan citra, tontonan, dan popularitas sesaat dibandingkan dengan perasaan rakyat yang mereka wakili. Dalam konteks ini, panggung kekuasaan berubah menjadi panggung hiburan, sementara rakyat hanya penonton yang terluka, atau tersayat hatinya.

Krisis Empati dan Tumpulnya Nurani Publik

Ketika pejabat asyik berjoget di tengah duka rakyat, kita patut bertanya: di mana letak nurani publik yang seharusnya mereka jaga? Apakah jabatan telah membutakan hati mereka sehingga tidak lagi bisa merasakan getirnya penderitaan? Apakah suara sorakan riuh penonton lebih penting daripada air mata rakyat yang terhimpit aneka kesulitan hidup?

Saudaraku, krisis empati bukan hanya soal moral, melainkan juga soal keadaban publik. Empati adalah fondasi dari kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin. Tanpa empati, kepemimpinan hanyalah mesin birokrasi yang dingin, yang tidak mampu memberi makna selain prosedur dan aturan kaku.

Ketika pejabat lebih memilih berjoget-ria ketimbang menyampaikan duka cita atau menyusun langkah nyata membantu rakyat, itu berarti ada jurang besar yang memisahkan pemimpin dengan yang dipimpin. Jurang itu bukan sekadar jarak fisik, melainkan jarak batin yang bisa memutus kepercayaan, sekalgus mencederai amanah.

Rakyat tidak menuntut pejabat untuk sempurna. Rakyat hanya berharap agar pemimpin mau hadir, mendengar, dan merasakan. Bahkan jika tidak mampu menyelesaikan semua masalah, setidaknya pejabat bisa hadir dengan sikap yang pantas: menunjukkan simpati, memberi ketenangan, dan tidak menambah luka dengan sikap yang sembrono.

Joget salah momentum menjadi simbol dari sebuah kebutaan emosional. Seolah-olah pejabat kita hidup dalam ruang berbeda, terpisah dari kenyataan rakyat. Mereka larut dalam euforia pribadi, dalam dunia panggung dan sorak sorai, sementara rakyat harus berjuang dengan air mata.

Membaca Ulang Fungsi Kepemimpinan

Refleksi ini mengingatkan kita untuk kembali membaca ulang fungsi kepemimpinan. Kepemimpinan bukanlah sekadar jabatan, bukan pula tentang popularitas. Kepemimpinan adalah tentang kehadiran yang menenteramkan, tentang kebijaksanaan dalam bersikap, dan tentang kemampuan merasakan yang dirasakan orang lain.

Seorang pemimpin sejati tahu kapan harus tertawa, kapan harus menangis, kapan harus diam, dan kapan harus bersuara lantang. Ketepatan momentum inilah yang membuat seorang pemimpin dihormati. Salah momentum berarti salah arah, dan salah arah bisa membawa bangsa ke jurang kehilangan kepercayaan.

Sejarah bangsa ini penuh dengan contoh pemimpin yang tahu menempatkan diri. Bung Karno, misalnya, pandai menghadirkan humor dalam pidatonya, tetapi ia tidak pernah bercanda di hadapan rakyat yang sedang berduka karena bencana. Kehadiran beliau selalu sinkron dengan rasa rakyat. Kontras dengan fenomena hari ini, ketika pejabat lebih sibuk memamerkan joget di panggung daripada mengulurkan tangan.

Jika pemimpin terus-menerus salah momentum, rakyat perlahan akan kehilangan hormat. Mereka mungkin masih tunduk karena aturan, tetapi di dalam hati, kepercayaan sudah terkikis, sudah tergerus habis. Padahal, kepercayaan adalah modal utama dalam menjalankan kepemimpinan.

Krisis empati pejabat juga mengajarkan kita satu hal: bahwa pendidikan politik bangsa ini masih harus diperbaiki. Kita masih sering melahirkan pemimpin yang pandai menari di panggung, tetapi kaku ketika berhadapan dengan air mata rakyat. Kita masih mengidolakan popularitas dibandingkan integritas.

Esensi refleksi ini sesungguhnya bukan hanya soal seorang atau dua orang pejabat yang joged di waktu yang salah, melainkan tentang budaya kepemimpinan yang sedang terancam. Budaya yang menempatkan citra di atas rasa, tontonan di atas ketulusan, dan sorakan massa di atas air mata rakyat.

Maka, tugas kita sebagai masyarakat adalah terus mengingatkan, mengkritisi, bahkan menegur, agar pejabat tidak larut dalam budaya salah momentum ini. Demokrasi memberi kita ruang untuk bersuara, dan suara itu jangan pernah berhenti.

Pemimpin yang baik harus belajar untuk menahan diri. Menahan diri untuk tidak larut dalam euforia yang melukai, menahan diri untuk tidak terjebak dalam panggung yang salah. Kekuatan seorang pemimpin justru terletak pada kemampuannya membaca situasi, bukan pada kelincahan kakinya di atas panggung.

Kita tidak menolak kegembiraan. Kita tidak anti terhadap joget. Tetapi kita menolak ketika joget itu dilakukan di saat rakyat sedang berduka, sedang terhimpit aneka tekanan hidup yang getir. Sebab, di situlah letak empati diuji. Empati bukan sekadar kata-kata indah, melainkan tindakan nyata yang hadir pada momentum yang tepat.

Joged yang salah momentum akan selalu tercatat dalam ingatan publik sebagai simbol kegagalan empati. Dan sejarah selalu punya cara untuk menuliskan catatan buruk bagi mereka yang gagal membaca rasa rakyat.

Pada akhirnya, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tahu menari dalam rasa rakyatnya—menari dalam arti menyelaraskan langkah, bukan sekadar menggoyangkan tubuh di panggung hura-hura. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu menempatkan diri, hadir dengan tepat, dan menjaga empati sebagai pusaka kepemimpinan. Baarokallahu fiikum.

Post a Comment for "Joget yang Salah Momentum: Potret Krisis Empati Para Pejabat"