Ada sebuah kerinduan yang tidak pernah padam di hati umat manusia, kerinduan yang melampaui batas bahasa, bangsa, bahkan agama. Kerinduan itu tak lain adalah kerinduan akan Palestina yang merdeka, bumi yang selama puluhan tahun menjadi saksi luka, tumpahan darah, air mata, dan doa yang tidak henti terucap.
Palestina bukan sekadar wilayah di peta. Palestina adalah bumi para nabi, tanah tempat sejarah peradaban manusia ditulis, dan medan ujian kemanusiaan yang tak pernah selesai. Di Bumi Palestinalah kita belajar, apakah dunia ini benar-benar memahami arti keadilan yang sesungguhnya ataukah hanya mempertontonkan realita menodainya. Setiap kali kita mendengar nama Palestina, yang terlintas bukan sekadar berita konflik, tetapi wajah anak-anak kecil yang berlari di antara puing-puing runtuhan bangunan, membawa mimpi yang mungkin tidak sempat mereka wujudkan.
Palestina adalah kerinduan untuk melihat sebuah bangsa bisa hidup sebagaimana mestinya: bebas beribadah tanpa ketakutan, bebas membangun rumah tanpa dihancurkan, bebas menanam pohon zaitun tanpa dicabut paksa. Dan kerinduan itu bukan kerinduan romantis belaka, tetapi kerinduan yang benar-benar lahir dari rasa perih melihat ketidakadilan terus-menerus dipertontonkan. Dunia seolah bisu, sementara derita itu mengalir deras setiap hari.
Kemerdekaan Itu Hak Segala Bangsa
Palestina mengajarkan kita betapa merdeka itu bukan hadiah, melainkan hak. Setiap bangsa berhak merdeka, sebagaimana Indonesia pernah merebut kemerdekaannya, sebagaimana banyak negeri lain bangkit dari penjajahan. Palestina juga berhak. Dan ketika berbicara tentang Palestina, sejatinya kita sedang berbicara tentang harga diri umat manusia. Bagaimana mungkin abad ke-21 masih menyisakan bangsa yang belum merdeka? Bagaimana mungkin dunia yang mengaku modern membiarkan satu bangsa hidup dalam kurungan tembok beton?
Kerinduan itu membuat hati selalu bergetar ketika melihat kibaran bendera Palestina. Warna hitam, putih, hijau, dan merah itu seakan menyimpan seribu doa yang belum terkabul. Setiap batu yang dilemparkan anak-anak Palestina adalah simbol keberanian. Setiap sujud mereka di Masjidil Aqsha adalah seruan kebebasan. Setiap tetes darah syuhada mereka adalah kesaksian atas cita-cita merdeka yang tak bisa dipadamkan.
Kita merindukan hari ketika Palestina tidak lagi identik dengan penderitaan, melainkan dengan kehidupan yang bermartabat. Kita merindukan hari ketika orang-orang bisa menyebut Yerusalem bukan sebagai kota konflik, melainkan kota perdamaian. Dan tentu saja kerinduan itu bukan hanya milik rakyat Palestina, tetapi milik setiap jiwa yang masih percaya bahwa keadilan itu ada. Kerinduan itu adalah doa umat manusia, doa yang terpatri dalam hati, meski kadang terasa mustahil untuk terwujud.
Sejarah telah berulang kali membuktikan: apa yang tampak mustahil akhirnya menjadi kenyataan. Afrika Selatan pernah terkekang apartheid, namun pada akhirnya juga bebas. Indonesia pernah dijajah, namun pada akhirnya juga berdaulat. Dan karena itu Palestina pun pasti akan merdeka.
Kerinduan itu memberi harapan. Kerinduan itu menghidupkan harapan yang dengannya membuat kita tidak berhenti berbicara tentang kemerdekaan Palestina. Harapan yang membuat kita tidak lelah menyuarakan kemerdekaan itu, meski dunia sering berusaha membungkam. Merdeka bagi Palestina berarti memulihkan luka yang sudah terlalu lama dibiarkan. Luka rumah yang hancur, luka keluarga yang tercerai, luka tanah yang dirampas, luka harapan-harapan yang berusaha dipadamkan oleh kekuatan yang tidak menginginkannya.
Setiap luka itu adalah catatan sejarah yang menunggu ditebus dengan kebebasan. Tidak ada bangsa yang bisa hidup selamanya dalam penindasan. Tidak ada kezaliman yang bisa bertahan melawan arus waktu.
Kerinduan akan Palestina merdeka juga adalah ujian iman. Apakah kita cukup sabar menanti, apakah kita cukup kuat mendukung, apakah kita cukup berani menyuarakan meski tekanan datang dari segala arah. Bagi umat Islam, Palestina adalah tanah suci. Di sanalah Masjidil Aqsha berdiri, kiblat pertama dan tempat Isra’ Mi’raj Rasulullah ï·º. Kerinduan akan Palestina merdeka berarti kerinduan untuk melihat tanah suci itu kembali damai, tanpa penjaga bersenjata di setiap pintu.
Bagaimanapun Palestina bukan hanya milik umat Islam. Palestina milik seluruh manusia yang mencintai perdamaian. Palestina juga adalah milik orang-orang Kristen yang berziarah ke Bethlehem, milik orang-orang Yahudi yang ingin beribadah tanpa konflik, milik siapa saja yang percaya pada cinta kasih kemanusiaan.
Kerinduan akan Palestina merdeka adalah kerinduan akan dunia yang lebih adil. Dunia di mana hukum internasional bukan hanya tulisan di atas kertas, melainkan kenyataan yang melindungi setiap bangsa. Ketika kita menyebut “Palestina merdeka”, kita sedang menyerukan agar anak-anak Palestina bisa bersekolah tanpa dihentikan oleh pos pemeriksaan. Kita sedang berharap agar para petani bisa menuai zaitun tanpa rasa takut. Kita sedang menuntut agar ibu-ibu bisa menidurkan anaknya tanpa mendengar dentuman bom.
Kerinduan yang Menembus Batas Geografi
Kerinduan itu membuat setiap doa kita lebih panjang. Menyebut nama Palestina dalam sujud seakan menjadi kewajiban moral, bukan sekadar ritual. Kita mungkin jauh dari tanah Palestina, tetapi kerinduan membuat kita dekat. Kerinduan itu menembus batas geografi, masuk ke dalam hati, dan menjadikan kita bagian dari perjuangan itu.
Palestina merdeka adalah mimpi yang harus terus dijaga. Tanpa mimpi itu, dunia akan kehilangan salah satu cahaya keadilan. Maka kita memilih untuk terus merindukan, meski dunia mencoba membuat kita lupa. Kita memilih untuk terus menyuarakan, meski suara kita terasa kecil dibanding hiruk pikuk politik internasional.
Kerinduan akan Palestina merdeka adalah api yang tidak bisa dipadamkan. Api itu mungkin kecil, tetapi akan terus menyala. Api itu mungkin tersembunyi, tetapi akan terus hidup. Hari yang dirindukan itu pasti datang. Hari ketika Palestina mengibarkan benderanya di tanahnya sendiri, hari ketika rakyatnya berdiri tegak sebagai bangsa yang berdaulat.
Hari itu akan menjadi hari air mata bahagia, bukan air mata duka. Hari itu akan menjadi jawaban dari doa-doa panjang, jawaban dari kerinduan yang tak pernah padam. Dan ketika hari itu tiba, dunia akan belajar bahwa keadilan memang bisa lahir, meski harus melewati jalan panjang penuh pengorbanan. Dunia akan belajar bahwa sebuah bangsa yang bertahan dengan kesabaran, pada akhirnya akan menang.
Kerinduan ini membuat kita yakin bahwa Palestina tidak akan selamanya terbelenggu. Sejarah akan membebaskannya, doa akan membimbingnya, dan perjuangan akan mengantarkannya. Palestina merdeka bukan hanya kemungkinan, tetapi keniscayaan. Karena tidak ada kekuatan yang lebih besar dari keinginan sebuah bangsa untuk hidup bebas.
Kita hanya perlu menjaga kerinduan itu tetap hidup. Dan selama kerinduan ini ada, selama doa-doa ini masih dipanjatkan, Palestina akan tetap berjalan menuju kemerdekaannya. Maka, mari kita terus merindukan, mari kita terus mendoakan, mari kita terus menyuarakan. Karena kerinduan yang tulus selalu menemukan jalannya. Palestina merdeka adalah janji keadilan. Dan janji itu, cepat atau lambat, akan ditepati. Baarokallahi fiikum.
Post a Comment for "Rindu Palestina Merdeka: Kerinduan yang Tulus Selalu Menemukan Jalannya"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.