Domain Fikih dan Kebaikan Ijtihad


وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَهُ سَمِعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ : إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَحَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 

Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hakim bersungguh-sungguh dalam memutuskan suatu perkara dan keputusan itu sesuai dengan kebenaran berarti telah mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka dia mendapatkan satu pahala” (Muttafaqun’alaih/HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas tidak dipungkiri menjadi salah satu hujjah kebaikan Ijtihad. Dengan dalil tersebut, maka fakta-fakta perbedaan pendapat dalam tataran fikih menjadi sebuah keniscayaan dan tidak semestinya menjadi bahan pertengkaran, perselisihan, atau pertentangan yang berkepanjangan, karena dalam domain fikih tidak dikenal pertanyaan “mana pendapat yang benar”, melainkan “apa dasar/dalil dari pendapat tersebut”.

Namun demikian, ada hal krusial yang harus menjadi catatan penting, bahwa meskipun kebaikan Ijtihad sudah sangat jelas sebagaimana landasan hujjah di atas, namun para ulama memperingatkan bahwa hal tersebut hanya berlaku apabila yang melakukan ijtihad adalah seorang mujtahid sejati, yang telah memenuhi semua syarat kelayakan menjadi mujtahid.

Ijtihad dalam domain fikih adalah kajian istinbath hukum yang notabene bukan perkara sepele, dan orang awam terlarang untuk melakukannya. Larangan itu semata-mata dalam rangka menghindari kekacauan hukum berikut segala konsekuensinya. Satu-satunya Ijtihad yang bisa (dan bahkan harus atau wajib) dilakukan oleh orang awam adalah Ijtihad dalam 'memilih' satu pendapat mujtahid dari sekian banyak pendapat para mujtahidin yang mungkin saja berbeda satu sama lain. Hal ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudhatu An-Nadzhir.

Harus digarisbawahi, bahwa mengikuti ulama mujtahid bukan berarti meninggalkan Al-Quran dan Al-Hadits. Justru bagi orang awam langkah tersebut adalah upaya optimal untuk mengikuti apa yang ada dalam Al-Quran dan Hadits, sebab Ulama Mujtahid tidak mungkin mengeluarkan fatwa atau hukum yang menyimpang dari Al-Quran dan Hadits.

KH. Sahal Mahfudz (rahimahullah) dalam bukunya yang berjudul Nuansa Fiqih Sosial, menjelaskan bahwa istinbath hukum langsung dari Al-Quran dan Hadits tidak menjadi domain orang awam, sebab mereka (orang awam) tidak memiliki tool yang memadai untuk mengkaji dan menetapkan hukum dari sumber tersebut. Peringatan seperti ini juga dilakukan oleh para ulama ushul sejak berabad-abad silam. Istinbath hukum langsung dari Al-Quran dan Hadits adalah domain para Mujtahid.

Syarat Mujtahid
Syarat minimal seorang Mujtahid menurut Al-Syatibi adalah: memiliki pengetahuan yang luas tentang Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ para ulama, serta memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ushul fikih, memahaminmaqasid al-Syariah (tujuan syariat), disamping menguasai ilmu bahasa (Arab) dengan baik.

Dalam literatur-literatur fikih, dikenal 2 (dua) tingkatan mujtahid. Pertama, mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang memiliki kemampuan memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contoh mujtahid dalam tingkatan ini adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi`i, Imam Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain. Kedua, mujtahid muntasib, yakni orang yang memiliki syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri dalam salah satu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Domain Fikih dan Kebaikan Ijtihad"