Paralisis Nurani BPJS Kesehatan



Saya tidak menutup mata terhadap beberapa manfaat yang bisa dirasakan oleh beberapa orang terkait adanya BPJS Kesehatan. Dan itu tentu saja patut mendapat apresiasi yang sepadan. Hanya saja, tulisan ini tidak untuk mengungkapkan beberapa manfaat itu, melainkan mencoba menyoroti salah satu kebijakan atau regulasi di tubuh BPJS Kesehatan yang tidak mencerminkan rasa kemanusiaan sebagai sebuah asuransi sosial Negara. Adalah sebuah ironi besar yang membuat hati miris ketika BPJS Kesehatan tampak seperti sebuah asuransi komersial. Sejumlah regulasi dikeluarkan, alih-alih untuk mempermudah akses pelayanan kesehatan sebagai bagian dari hak dasar, regulasi justru dibuat untuk mencegah (kalau tidak boleh saya katakan menghalangi) percepatan atau akselerasi pemenuhan hak dasar itu.

Di tahun-tahun pertama pelaksanaan BPJS Kesehatan, peserta dimudahkan untuk mendaftar, dimudahkan untuk membayar, dan sekaligus dimudahkan untuk aktivasi kepesertaan di hari yang sama. Sementara belakangan ini, dengan alasan yang terkesan dibuat-buat, tempo antara pendaftaran dan aktivasi kepesertaan dibuat terpisah menjadi semakin lama. Saya tidak melihat ada rasionalisasi yang bisa diterima akal sehat dalam perubahan regulasi tersebut, kecuali kesan kuat pencitraan BPJS Kesehatan seolah-olah sebagai sebuah asuransi komersial, bukan asuransi sosial sebagaimana jatidiri atau khittah dasarnya.

Tidak boleh dilupakan, embrio awal BPJS Kesehatan adalah Undang-Undang Nomor 40/2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Kehadiran BPJS Kesehatan dari rahim Undang-Undang SJSN yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 24/2011 Tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sejatinya adalah bagian dari representasi kehadiran Negara di tengah-tengah warganya untuk menjamin dan melindungi pemenuhan hak-hak dasar akan kesehatan. Tidak ada argumentasi yang bisa diterima akal sehat jika kemudian pendaftaran dan aktivasi kepesertaan dibuat semakin lama.

Realita saat ini, tempo antara pendaftaran dan aktivasi kepesertaan terpisah (atau sengaja dipisahkan) oleh jarak waktu sejauh 14-28 hari. Celakanya lagi, jika peserta yang sudah mendaftar itu datang untuk membayar setelah 28 hari, maka pembayaran dan sekaligus aktivasi itu harus kembali tertunda lagi karena mau tak mau harus kembali menunggu lagi setelah 14-28 hari kemudian. Saya kira ini adalah sebuah regulasi jahiliyah untuk sebuah asuransi sosial Negara yang notabene sudah ditargetkan kepesertaan semesta (universal coverage) tahun 2019.

Penundaan tempo aktivasi kepesertaan BPJS Kesehatan harus dibatalkan demi ruh kemanusiaan dari sebuah asuransi sosial Negara. Kekuatan jaminan sosial Negara tidak bisa diukur dari parameter jumlah uang yang masuk, kecuali jika asuransi sosial BPJS Kesehatan berubah haluan menjadi kapitalis. Kekuatan jaminan sosial Negara hanya bisa dilihat dari kekuatan keberpihakan Negara pada pemenuhan jaminan itu sendiri. Maka, jika BPJS Kesehatan tidak segera membatalkan regulasi jahiliyah penundaan masa aktivasi kepesertaan sebagaimana tersebut di atas, maka saya kira itu menjadi bukti adanya Paralisis Nurani BPJS Kesehatan. Dan ini tidak lain adalah Paralisis Nervus Kemanusiaan BPJS Kesehatan. Wallahua’lam. (Insya Allah tulisan ini masih akan berlanjut untuk menyorot regulasi absurd lainnya)

Post a Comment for "Paralisis Nurani BPJS Kesehatan"