Sebutan Kafir dan Non-Muslim Lebih Dari Sekadar Diksi

Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) PBNU, KH Misbahul Munir angkat bicara soal gonjang-ganjing istilah Kafir dan non-Muslim. Menurut beliau, kedua istilah tersebut hanyalah permasalahan pemilihan kata yang dalam ilmu bahasa dinamakan dengan Diksi. Dalam konteks ke-Indonesia-an, kata Ketua Aswaja Centre Pusat itu, pemilihan kata non-Muslim lebih baik dan lebih sejuk, seperti pernyataan beliau berikut:

"Dalam konteks ke-Indonesia-an kita kan sudah sepakat punya rumah besar namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalamnya ada berbagai agama. Kata non-Muslim itu dipilih, saya kira pas itu. Walaupun esensinya bermakna sama", tandas beliau seperti yang diwartakan dalam situs resmi Nahdlatul Ulama: Kafir dan Non-Muslim Hanya Masalah Pemilihan Kata.

Pemilihan kata dan kalimat itu, kata Kiai Misbahul, penting dalam pergaulan dengan sesama manusia. Banyak kata yang memiliki makna sama namun akan berbeda rasa dan menimbulkan kesan negatif ketika digunakan tidak pada tempatnya. Contoh, kata "mati". Banyak kata yang memiliki kesamaan arti dengan mati seperti meninggal, wafat, berpulang, mampus dan modar. Jika salah dalam memilih dan menempatkan kata tersebut maka akan bisa berubah rasa.

"Kalau ayam ya mati. Kalau Kiai wafat. Kalau bajingan menggunakan kata modar," ungkap Pengasuh Pesantren Ilmu Qur'an Al Misbah Jakarta ini dan mengingatkan agar jangan sampai menukar-nukar kata tersebut.
Sumber Gambar: https://suara-islam.com/bermain-api-dengan-kata-kafir
Apa yang disampaikan Kiai Misbahul tentang pentingnya pemilihan kata yang disesuaikan dengan konteks, adalah sesuatu yang sangat tepat. Hanya saja persoalannya adalah, sebutan Kafir bagi yang di luar Islam, sama sekali bukan sebuah kata penghinaan. Sebutan kafir juga tidak berkonotasi memecah belah persatuan bangsa dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sebutan Kafir adalah murni bentuk tanggungjawab moral untuk menegaskan kepada ummat tentang bagaimana Allah SWT mengungkapkan secara determinatif istilah yang tepat bagi mereka yang berada di luar Islam.

Baca juga: Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA: Sebutan Kafir Bersifat Netral, Obyektif dan Sangat Sopan

Agama-agama selain Islam juga masing-masing memiliki istilah tersendiri untuk orang-orang yang berada di luar keyakinan mereka. Kita mengenal istilah 'domba sesat' untuk yang di luar Kristen. Ada istilah 'goyim' untuk yang berada di luar keyakinan Yahudi. Ada pula sebutan 'maitrah' untuk yang berada di luar Hindu. Dan lain sebagainya. Dan, atas nama NKRI, toleransi dan kebebasan beragama, penggunaan sebutan-sebutan di atas tidak perlu dipersoalkan, apalagi konstitusi kita jelas-jelas menjamin setiap warga negara untuk menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing.

Dalam konteks NKRI yang berbhinneka tunggal ika, istilah-istilah keagamaan sudah menjadi sesuatu yang final, dan karena konstitusi juga menjamin keniscayaan itu, maka tugas dan kewajiban ummat beragama adalah meyakini dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa perlu dirisaukan dengan istilah-istilah baku yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran tiap-tiap agama. Cukup kita saling menghargai, saling menghormati, saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Itu saja. Wallahua'lam.

Post a Comment for "Sebutan Kafir dan Non-Muslim Lebih Dari Sekadar Diksi"