Hari Santri, 22 Oktober, bukan sekadar tanggal biasa di kalender. Hari Santri sejatinya adalah panggilan nurani untuk mengingat kembali betapa dalamnya akar moral yang ditanamkan pesantren pada generasi bangsa. Tahun ini, keluhuran nilai pesantren diuji oleh sebuah peristiwa yang bersinggungan dengan marwah, terutama ketika tradisi dan kehormatan diberi tempat di layar dan disederhanakan menjadi sebuah tontonan.
Beberapa pekan lalu sebuah program televisi nasional menayangkan potongan video yang memicu gelombang protes: adegan dan narasi yang dipandang merendahkan tradisi adab pesantren, termasuk penggambaran penghormatan santri kepada kiai yang dilihat sebagai olok-olok. Potongan itu menyebar cepat di media sosial dan memunculkan tuntutan agar stasiun televisi bertanggung jawab.
Reaksi publik bergerak cepat: alumni pesantren, ormas Islam, dan tokoh publik menyerukan boikot serta menuntut klarifikasi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima banyak pengaduan dan pada akhirnya mengambil langkah pengawasan: memanggil pihak stasiun dan menimbang adanya pelanggaran etik penyiaran. Pihak Trans7 kemudian mengeluarkan permintaan maaf resmi, menghentikan program terkait, dan memutuskan kerja sama dengan rumah produksi yang membuat konten itu.
Kisah ini lebih dari sekadar “salah tayang”. Ia membuka luka lama: persepsi publik tentang bagaimana media memotret kehidupan pesantren, dan betapa sensitifnya simbol-simbol adab dalam tradisi pesantren. Dalam budaya pesantren, adab—bentuk-sopan-santun, tata cara salim, penghormatan kepada guru—bukan sekadar kebiasaan ritual; semua itu adalah penanda tata nilai yang mengikat komunitas. Ketika simbol-simbol itu diprovokasi menjadi bahan humorisasi tanpa konteks, yang dirugikan bukan hanya individu, melainkan kolektif marwah institusi keagamaan.
"Adab pesantren bukan atribut kosong; ia adalah bahasa moral yang menjaga martabat komunitas."
Salah satu refleksi moral isu krusial di atas adalah, bahwa media arus utama perlu mengingat kembali fungsi publiknya: bukan hanya menghibur, tetapi juga menjaga keharmonisan sosial. Kebebasan berekspresi tidak kebal dari tanggung jawab; narasi yang membentuk opini publik mestinya lahir dari sensitivitas terhadap pluralitas budaya dan agama.
Hari Santri, 22 Oktober, juga adalah hari ketika kita tidak sekadar mengenang sejarah, tetapi juga menguji kesetiaan kita pada nilai-nilai keislaman yang diwariskan para ulama dan pejuang bangsa. Di tengah hiruk pikuk zaman digital, di mana suara kebenaran sering tenggelam dalam kebisingan dunia maya, kita diingatkan kembali pada ketenangan pesantren: tempat di mana ilmu, adab, dan keikhlasan tumbuh dalam satu tarikan napas.
Menjadi santri pada masa lalu berarti siap berperang melawan penjajah dengan doa dan bambu runcing. Menjadi santri pada masa kini berarti berjuang melawan penjajahan baru: kebodohan, kemalasan berpikir, dan arus global yang menafikan nilai spiritual. Dulu musuh santri adalah kolonialisme yang kasat mata; kini musuh santri adalah hedonisme yang samar tapi mematikan.
Santri hari ini hidup di tengah derasnya arus informasi, di mana kebenaran bisa dipelintir menjadi kebohongan, dan kebohongan bisa tampil anggun seolah kebenaran. Namun, justru di situ letak ujian ke-santrian yang sesungguhnya: mampukah ia menimbang informasi dengan ilmu, menyaring berita dengan hati, dan berbicara dengan hikmah? Karena santri bukan sekadar orang yang mengaji kitab, tetapi yang mampu “menghidupkan kitab” dalam dirinya.
Pesantren, dalam sejarahnya, adalah benteng moral bangsa. Dari sana lahir tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim — ulama yang tidak hanya saleh secara pribadi, tetapi juga sadar sosial dan nasionalis sejati. Kini, pesantren ditantang melahirkan generasi cyber-santri: mereka yang bisa menebar nilai Islam rahmatan lil ‘alamin di dunia digital, bukan malah ikut menyebar ujaran kebencian atas nama agama.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian generasi muda Muslim mulai kehilangan arah moral, terseret budaya instan dan candu popularitas. Padahal, dalam diri setiap santri terkandung kearifan yang langka: kesabaran menuntut ilmu, ketundukan kepada guru, dan keikhlasan berjuang tanpa pamrih. Tiga nilai ini adalah fondasi yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini — di tengah krisis kejujuran publik, menurunnya integritas aparatur, serta makin menipisnya budaya malu di kalangan elite.
Hari Santri seharusnya tidak berhenti pada seremoni. Ia mesti menjadi momen muhasabah nasional. Apakah nilai-nilai pesantren sudah kita hidupkan dalam birokrasi, di ruang politik, di kampus, dan di dunia media sosial? Apakah kita masih punya rasa hormat pada guru dan ulama, ataukah kita sudah menjadi generasi yang “pintar bicara tapi miskin adab”?
Santri sejati bukan hanya yang tinggal di pesantren, tapi siapa pun yang menundukkan ego di hadapan kebenaran, menjaga lidahnya dari fitnah, dan menegakkan nilai kejujuran dalam profesinya. Seorang pegawai yang bekerja jujur adalah santri. Seorang dokter yang melayani dengan hati adalah santri. Seorang pemimpin yang adil juga santri. Karena inti dari ke-santrian adalah pengabdian kepada Allah melalui kemaslahatan manusia.
Ketika dunia modern menggoda manusia untuk mengejar ketenaran, santri diajarkan untuk mencintai keheningan. Ketika zaman menuntut hasil cepat, santri memahami bahwa proses adalah bagian dari ibadah. Di tengah masyarakat yang mudah putus asa, santri mengajarkan sabar dan tawakal — dua kata sederhana yang menjadi kunci kelanggengan perjuangan bangsa ini.
Maka di Hari Santri Nasional tahun 2025 ini, marilah kita kembalikan ruh ke-santrian dalam setiap lini kehidupan. Jadikan pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga pusat kebijaksanaan moral bangsa. Jadikan santri bukan hanya simbol masa lalu, tetapi harapan masa depan.
Karena sejatinya, bangsa ini berdiri di atas doa dan ketulusan para santri. Dan tidak berlebihan jika ditegaskan bahwa, hanya dengan semangat ke-santrianlah — yang jujur, rendah hati, dan penuh kasih sayang — Indonesia bisa tetap tegak di tengah dunia yang makin gaduh. Baarokallahu fiikum.
Post a Comment for "Refleksi Hari Santri Nasional 2025 di Tengah Zaman yang Makin Bising"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.