Sebuah Catatan Kecil Tentang Ungkapan “Semua Akan Indah pada Waktunya”

Matahari terbit penuh, simbol keindahan yang datang di waktu terbaik.
Apa yang Allah tetapkan selalu tepat, meski tidak selalu cepat.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, ada sebuah ungkapan yang sering kita dengar: “Semua akan indah pada waktunya.” Kalimat ini beredar luas di media sosial, percakapan sehari-hari, dan menjadi ungkapan penghibur bagi siapa pun yang sedang menghadapi masa sulit. Namun sebagai seorang muslim, kita perlu memahami makna ungkapan tersebut dengan kacamata iman yang benar.

Secara historis, ungkapan di atas tidak berasal dari tradisi Islam. Frasa serupa muncul dalam tradisi Yahudi-Kristen, khususnya dalam teks Pengkhotbah. Pengetahuan ini penting bukan untuk kita jadikan rujukan, melainkan agar kita mengetahui bahwa ungkapan tersebut tidak termasuk ajaran Islam dan tidak bersumber dari Al-Qur’an maupun Sunnah.

Namun demikian, makna dasarnya, yaitu keyakinan bahwa ada waktu terbaik untuk segala sesuatu—adalah konsep yang sangat selaras dengan ajaran Islam, selama dipahami dalam bingkai tauhid, takdir, dan kesabaran sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.

Al-Qur’an dengan tegas menyatakan: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran (takdir).” (QS. Al-Qamar: 49)

Dalam pandangan Islam, waktu bukan sekadar alur kronologis, melainkan bagian dari ketetapan Allah. Setiap kejadian memiliki qadar dan ajal—batas, momen, dan urutan yang ditetapkan oleh Allah dengan hikmah yang sempurna.

Maka, ketika kita mengatakan “indah pada waktunya”, yang kita maksud sebagai muslim bukanlah waktu versi manusia, tetapi waktu yang Allah tetapkan, yang penuh hikmah, bahkan ketika hikmah itu belum tampak di mata kita. Dan, keindahan menurut Islam bukan hanya pada hasil, melainkan juga pada proses yang terbingkai dalam koridor keimanan.

Islam menegaskan bahwa setiap ujian mengandung nilai kebaikan, bahkan sebelum hasilnya muncul. Allah berfirman: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6)

Ayat di atas mengajarkan bahwa dalam setiap kesulitan yang Allah izinkan, kemudahan sudah berjalan beriringan, meski tidak selalu tampak. Dengan kata lain, “keindahan” dalam Islam tidak selalu berupa hasil yang kita inginkan, tetapi berupa: bertambahnya kedewasaan, hati yang lebih dekat pada Allah, bertambahnya pahala karena sabar, dan bersihnya jiwa melalui ujian. Itulah makna keindahan yang tidak bisa ditangkap oleh standar duniawi.

Sering kali masyarakat memahami ungkapan “semua akan indah pada waktunya” sebagai ajakan pasrah atau menunggu keajaiban datang. Islam justru mengajarkan sebaliknya: bahwa sabar adalah ikhtiar yang terus dilakukan, bukan diam tanpa usaha. Sabar dalam Islam mencakup: sabar dalam ketaatan, sabar menjauhi maksiat, sabar menerima ketentuan Allah.

Sabar bukan tentang menunggu hasil, tetapi tentang bagaimana kita tetap berada di jalur Allah selama menunggu. Di sinilah Islam memberikan arah yang jelas, tidak menggantungkan harapan pada waktu itu sendiri, tetapi pada Allah yang mengatur waktu.

Islam memberikan peringatan lembut bahwa apa yang kita inginkan belum tentu terbaik bagi kita. Allah berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Dengan ayat di atas, Islam mengingatkan bahwa “keindahan” bukan berarti semua yang kita cita-citakan pasti terwujud. Terkadang, keindahan justru hadir dalam bentuk penolakan, keterlambatan, atau kehilangan—karena Allah lebih mengetahui apa yang menyelamatkan kita di dunia maupun akhirat. Ungkapan “indah pada waktunya” hanya benar jika kita memaknainya sebagai: indah menurut Allah, bukan menurut hawa nafsu manusia.

Jika dipahami dalam cahaya Islam, maka ungkapan “semua akan indah pada waktunya” tidak bertentangan dengan akidah. Dengan catatan, seorang muslim harus memaknainya dengan benar:

  • Keindahan terjadi karena Allah, bukan karena waktu,
  • Waktu menjadi indah ketika kita mengisinya dengan iman, sabar, dan ikhtiar,
  • Apa yang indah bukan selalu yang kita harapkan, tetapi yang Allah tetapkan, dan
  • Seorang muslim tidak menunggu waktu bekerja, tetapi menunggu ketentuan Allah yang penuh hikmah.

Pada akhirnya, yang membuat hidup ini indah bukanlah tibanya masa depan, tetapi keteguhan hati yang yakin pada firman Allah:

“Cukuplah Allah sebagai penolong, dan Dialah sebaik-baik Pengatur segala urusan.” (QS. Ali Imran: 173)

Atas dasar di atas, ketika kita meyakini bahwa Allah mengatur segala urusan, maka sejatinya setiap waktu yang kita jalani, baik suka maupun duka, sudah indah pada tempatnya. Baarokallahu fiikum.

Post a Comment for "Sebuah Catatan Kecil Tentang Ungkapan “Semua Akan Indah pada Waktunya”"