![]() |
| Hadiah umrah bukan soal siapa yang beruntung, tetapi siapa yang memberi makna lewat kinerjanya. |
Ada satu tradisi yang selama bertahun-tahun hadir di berbagai institusi, baik pemerintahan, komunitas, maupun lembaga pelayanan, yakni memberikan hadiah melalui mekanisme undian. Dari hadiah hiburan hingga hadiah utama berupa perjalanan umrah, semuanya kerap diserahkan kepada keberuntungan yang ditentukan oleh selembar kertas yang diambil secara acak dari kotak.
Di satu sisi, undian memang memudahkan. Ia simpel, cepat, dan meriah. Namun, pada sisi yang lain, ada kegelisahan yang perlu dicermati ulang: mengapa apresiasi sebesar umrah diserahkan kepada faktor acak, bukan kepada ikhtiar, karya, atau kontribusi nyata? (Baca juga: Contoh SOP Penilaian Hadiah Utama Umrah dalam Rangka Peringatan Hari Kesehatan Nasional)
Pertanyaan di atas bukan soal teknis, melainkan soal makna. Umrah bukan sekadar hadiah wisata religi; umrah adalah perjalanan spiritual, bentuk penghormatan, simbol puncak dari nilai kebaikan, adab, dan amal yang terus dipupuk. Maka ketika umrah dijadikan hadiah utama, wajar bila kita bertanya kembali: bukankah lebih pantas bila penerimanya dipilih melalui proses yang bermartabat, terukur, dan berorientasi pada penghargaan atas kinerja atau keteladanan?
Undian Melemahkan Pesan Moral dari Sebuah Hadiah Besar
Memang tidak dipungkiri, tradisi undian membuat setiap orang berpeluang, tetapi justru karena peluang itu acak, maka ia kehilangan unsur pendidikan moral. Seorang yang telah bekerja keras bertahun-tahun memiliki probabilitas yang sama dengan seseorang yang absen dari komitmen. Penerima hadiah akhirnya hanya “orang yang beruntung”, bukan “orang yang layak”.
Ketika hadiah yang sedemikian sakral seperti umrah ditentukan dengan cara undian, maka ada nilai yang tercecer, yakni nilai keadilan dan sekalgus nilai penghargaan terhadap ikhtiar. (Baca juga: Contoh Instrumen Penilaian Peserta Penerima Hadiah Utama Umrah dalam Rangka Peringatan Hari Kesehatan Nasional)
Jika kita memutuskan bahwa hadiah utama adalah umrah, maka kita juga memutuskan bahwa hadiah tersebut mewakili nilai tertinggi. Ia pantas diberikan kepada mereka yang: menunjukkan kinerja terbaik, memberi dampak nyata untuk masyarakat, menjaga adab pelayanan, dan konsisten dalam memberikan kontribusi.
Atas dasar di atas, maka memberikan hadiah umrah melalui mekanisme undian berarti memperkecil peluang penghargaan diberikan kepada sosok yang (seharusnya) benar-benar layak. (Baca juga: Contoh SOP Penilaian Penerima Hadiah Utama Umrah Bagi Masyarakat Umum)
Sebuah lembaga yang sehat semestinya membangun budaya: “Kemuliaan diberikan kepada mereka yang berusaha, bukan kepada mereka yang kebetulan beruntung.”
Reformasi Tradisi: Dari Undian ke Mekanisme Penilaian
Peralihan dari undian ke penilaian bukan sekadar perubahan teknis, melainkan pergeseran paradigma. Kita menyadari bahwa apresiasi tertinggi layak diberikan dengan cara yang:
- Objektif – Berbasis instrumen penilaian yang terukur,
- Transparan – Proses, tim penilai, dan hasilnya jelas,
- Akuntabel – Dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan administratif, dan
- Mendidik – Mendorong budaya kerja dan etos terbaik.
Dengan mekanisme itu, hadiah umrah menjadi puncak apresiasi, bukan sekadar “keberuntungan tahunan”. Institusi yang mengubah mekanisme hadiah umrah dari undian menjadi penilaian sesungguhnya sedang mengembalikan marwahnya. Ia sedang mengatakan kepada seluruh pegawai dan masyarakat bahwa:
Ikhtiar lebih bernilai daripada peruntungan. Karya lebih berharga daripada kesempatan acak. Integritas lebih luhur daripada serba-kebetulan.” Dan institusi yang menjaga marwahnya adalah institusi yang kuat.Menghidupkan Kembali Makna Apresiasi
Dengan mekanisme penilaian, maka hadiah umrah menjadi sesuatu yang tidak hanya ditunggu, tetapi sekaligus juga diusahakan. Pegawai terdorong untuk meningkatkan layanan, membangun budaya kerja yang baik, memperbaiki komunikasi, dan memberi kinerja terbaik. Karena setiap hal baik yang mereka lakukan akan menjadi bagian dari rekam jejak penilaian.
Apresiasi pun berubah dari sekadar euforia pengundian, menjadi puncak penghargaan atas perjalanan kebaikan. Tradisi undian mungkin telah berjalan panjang, tetapi tidak semua tradisi perlu dipertahankan. Ada saatnya kita memperbarui cara kita memberi penghargaan. (Baca juga: Contoh Instrumen Penilaian Penerima Hadiah Utama Umrah Bagi Masyarakat Umum Dalam rangka HKN)
Ada saatnya hadiah umrah tidak lagi diserahkan kepada keberuntungan, tetapi kepada mereka yang mengukir perbedaan. Karena hadiah terbesar bukanlah keberuntungan itu sendiri, tetapi pengakuan bahwa seseorang layak menerima penghormatan tertinggi.

Post a Comment for "Hadiah Utama Umrah Tanpa Undian: Mengembalikan Makna, Marwah, dan Ikhtiar dalam Apresiasi"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.