![]() |
| Anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna. Ia hanya butuh rumah yang tidak melukainya berulang-ulang. |
Baru-baru ini publik Indonesia diguncang oleh kabar tragis yang sulit diterima nalar: seorang anak perempuan berusia 12 tahun diduga menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri. Peristiwa ini segera menyedot perhatian luas, memantik kejut, amarah, dan keprihatinan yang bercampur menjadi satu. Banyak dari kita membaca berita itu dengan perasaan tidak percaya—seolah akal sehat menolak kemungkinan tersebut.
Namun di balik judul-judul besar dan narasi yang beredar, tragedi ini sesungguhnya bukan hanya kisah kriminal. Ia adalah pertanyaan besar tentang apa yang sedang terjadi di ruang paling dekat dengan kehidupan kita: rumah. Tentang relasi orang tua dan anak. Tentang luka yang mungkin tak pernah terlihat, tetapi tumbuh diam-diam hingga akhirnya meledak dalam bentuk yang paling menyakitkan.
Anak tidak pernah lahir membawa niat jahat. Ia lahir dengan satu kebutuhan paling dasar: merasa aman. Ketika pada akhirnya seorang anak tersesat sejauh ini, pertanyaan terpenting bukanlah apa yang ia tonton atau mainkan, melainkan di ruang seperti apa ia tumbuh dan dibesarkan.
Ada peristiwa-peristiwa yang tak layak dibaca dengan tergesa. Bukan karena ceritanya rumit, tetapi karena lukanya terlalu dalam. Tragedi yang melibatkan anak dan orang tua bukan sekadar kabar kriminal. Ia adalah cermin retak yang memantulkan wajah kita semua—sebagai orang tua, sebagai keluarga, sebagai masyarakat.
Sering kali kita mencari jawaban yang cepat. Kita menunjuk tontonan, game, gawai, media sosial. Kita menunjuk zaman. Kita menunjuk anak-anak hari ini yang dianggap lebih rapuh, lebih sensitif, lebih mudah tersinggung. Padahal, tragedi sebesar ini jarang lahir dari satu sebab tunggal. Ia tumbuh perlahan, diam-diam, di ruang yang mestinya paling teduh: rumah.
Rumah seharusnya menjadi tempat seorang anak belajar mengenali dunia dengan rasa percaya. Tempat ia boleh takut tanpa diancam. Boleh salah tanpa dipukul. Boleh marah tanpa disakiti. Ketika rumah berubah menjadi sumber ketegangan, bentakan, ancaman, dan rasa tidak aman yang berulang, maka yang runtuh bukan hanya hubungan, tetapi juga benteng batin seorang anak.
Kekerasan—baik fisik maupun verbal—tidak selalu meninggalkan luka yang terlihat. Ia sering menjelma menjadi simpanan emosi: takut yang dipendam, marah yang tak tersalurkan, dendam yang tak punya bahasa. Pada sebagian anak, simpanan itu mengendap dan membatu. Pada sebagian lain, ia menunggu pemicu untuk meledak. Kita tidak pernah benar-benar tahu bagaimana seorang anak memproses rasa sakitnya, sebab setiap jiwa memiliki cara bertahan yang berbeda.
Di titik inilah, tontonan dan permainan sering diseret sebagai kambing hitam. Padahal, ia bukan sebab utama, melainkan cermin atau bahkan bahasa yang dipinjam oleh batin yang terluka. Konten kekerasan tidak menciptakan amarah, tetapi bisa memberi bentuk pada amarah yang sudah lama ada. Ia menyediakan gambaran, bukan asal-usul. Menyederhanakan tragedi ini hanya pada game atau film justru membuat kita luput melihat akar yang lebih dalam: relasi yang rusak dan emosi yang tak pernah dipeluk.
Sebagian dari kita mungkin tumbuh dalam pola asuh keras dan merasa baik-baik saja. Namun waktu mengajarkan satu hal penting: tidak semua luka berteriak. Banyak yang diam, lalu muncul dalam bentuk yang tak terduga. Generasi hari ini bukan lebih lemah, tetapi hidup di zaman yang membuat suara batin mereka lebih terdengar—dan kadang, lebih berisik. Itu bukan aib, melainkan tanda bahwa kita perlu cara mendidik yang lebih sadar, bukan lebih keras.
Dalam tragedi seperti ini, hampir semua pihak adalah korban. Seorang ibu yang mungkin menanggung stres, kesepian, dan relasi rumah tangga yang rapuh. Seorang anak yang kehilangan tempat teduh untuk pulang secara emosional. Seorang ayah yang terjebak dalam jarak dan kebisuan. Tidak ada pemenang dalam cerita semacam ini, hanya kehilangan yang berlapis.
Karena itu, refleksi terpenting bukanlah soal siapa yang paling layak disalahkan, melainkan apa yang bisa kita perbaiki. Mungkin kita perlu lebih jujur pada diri sendiri: bahwa cinta saja tidak cukup jika tidak disertai kehadiran emosional. Bahwa mendidik anak bukan hanya soal mengatur perilaku, tetapi juga merawat perasaan. Bahwa amarah orang tua, betapapun manusiawinya, tetap memiliki dampak yang nyata pada jiwa yang sedang tumbuh.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa anak-anak tidak hanya butuh diarahkan, tetapi juga didengar. Tidak hanya butuh disiplin, tetapi juga rasa aman. Tidak hanya butuh pengawasan layar, tetapi juga pelukan yang menenangkan. Dan ketika seorang anak terjatuh sejauh ini, tugas masyarakat bukan menambah hukuman, melainkan membuka jalan pemulihan—agar luka tidak diwariskan, agar lingkaran kekerasan berhenti di satu generasi.
Semoga dari peristiwa yang gelap ini, lahir cahaya kesadaran. Bahwa rumah bukan sekadar atap dan dinding, melainkan ruang jiwa yang seharusnya teduh. Bahwa anak-anak, betapapun salah langkahnya, tetaplah amanah yang perlu dibina, bukan dihancurkan. Dan bahwa sebelum menuding dunia luar, kita perlu terlebih dahulu bercermin ke ruang paling dekat dengan kita: keluarga.

Post a Comment for "Anak Tak Pernah Lahir Jahat, Rumah yang Membentuknya"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.