Ini Cara Saya Memaknai Regulasi Baru Norma Kapitasi BPJS


Diskusi tentang perubahan norma kapitasi di FKTP yang berlangsung Rabu (12/8) siang kemarin di Aula Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, kabarnya cukup ramai. Sayang saya tidak bisa mengikuti acara tersebut karena di hari yang sama saya sedang berada di Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat menghadiri pertemuan Koordinasi Persiapan Monitoring & Evaluasi JKN Tingkat Propinsi. Beberapa SMS yang saya terima dari kawan-kawan di FKTP, dan juga sejumlah ungkapan status FB yang sempat saya baca, semuanya mencerminkan suara hati yang “bergejolak”.

Norma Kapitasi yang sedang menjadi trend topik saat ini diatur secara khusus dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015. Regulasi terbaru ini memperkenalkan nomenklatur baru lagi berkaitan dengan pola pembayaran kapitasi untuk FKTP, yakni Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan. Sebelum ini, BPJS sempat memperkenalkan terminologi Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK). Istilah-istilah tersebut sesungguhnya masih dalam ranah substansi maknawiah yang sama; yang berbeda adalah jumlah "asesoris" indikator yang dikandung; KBK memiliki 9 indikator kinerja yang populer dengan istilah QI Nine (Quality Indicator Nine); sementara Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan mempunyai 3 indikator.

Tiga indikator dalam konsep Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan, sebagaimana termaktub dalam pasal 31 ayat (2) regulasi di atas adalah: Angka Kontak (AK); Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik (RRNS); dan Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB). Ketiga indikator ini sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari 9 indikator kinerja dalam KBK. Karena itu, regulasi tentang norma kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan ini dapat dipandang sebagai bentuk minimalis dari KBK. Dan, dalam pemikiran saya, regulasi baru ini merupakan produk responsif BPJS terhadap hasil uji coba pelaksanaaan KBK di sejumlah FKTP (Baca juga: Inilah Hasil Uji Coba KBK di 42 Puskesmas)

Pokok permasalahan dalam regulasi baru ini, dalam pemahaman saya, tidak terletak pada substansi yang dikandungnya. Dari segi substansi konseptual, apakah itu KBK maupun regulasi terbaru ini, jujur saya katakan, saya acungkan jempol berkali-kali kepada BPJS. Substansi konseptualnya benar-benar mengakar pada keinginan kuat untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Titik krusial problematikanya terletak pada momentum implementasinya yang terkesan mendadak, terburu-buru, miskin sosialisasi, sekaligus miskin koordinasi, bahkan miskin sinkronisasi.

Berkaca pada proses uji coba pelaksanaan KBK selama enam bulan di beberapa wilayah, dengan hasil positif pada peningkatan kinerja secara signifikan, maka seyogyanya periode 6 bulan setelah masa uji coba tersebut dimanfaatkan untuk sosialisasi konsep yang telah diadaptasi, dan pada saat yang sama seluruh FKTP melakukan sejumlah penyesuaian, atau pembenahan, terutama (meski tidak terbatas ) pada poin-poin yang berkaitan dengan indikator-indikator input pelayanan.

Bahkan, jika BPJS akomodatif terhadap situasi nyata di FKTP milik pemerintah, maka momentum implementasi berbagai idealisme peningkatan pelayanan akan lebih baik jika diberlakukan bukan di masa-masa menjelang akhir tahun anggaran. Implementasi di masa-masa seperti itu akan memunculkan kerumitan tersendiri dalam tata kelola keuangan, khususnya pada mayoritas FKTP yang memang belum menerapkan pola PPK-BLUD.

Sangat bijak saya kira kalau momentum formalitas imlementasi kebijakan pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan ini mulai diberlakukan Januari 2016, bukan Agustus 2015 ini. Salah satu pertimbangannya, mayoritas FKTP milik pemerintah sedang berbenah menuju penerapan PPK-BLUD. Dan, rata-rata, untuk konteks Karawang misalnya, penerapan konsep PPK-BLUD ini dikondisikan mulai tahun 2016.

Sampai disini saya harus kembali menekankan kepada kawan-kawan di FKTP, bahwa ruh norma kapitasi yang baru sejatinya bukan pada pengurangan nominal kapitasi, melainkan pada urgensi komitmen pengejawantahan akuntabilitas pelayanan, melalui rangkaian proses pembenahan tata kelola klinis maupun administratif di seluruh FKTP. Ruh ini yang harus ditangkap oleh FKTP, dan ruh ini pula yang seharusnya menghidupkan gerakan supremasi kualitas pelayanan. Berita baiknya, dalam regulasi yang baru ini, FKTP memiliki kesempatan memperoleh pembayaran kapitasi lebih dari 100% manakala bisa mengondisikan pelayanan di zona prestasi.

Beberapa indikator dalam zona prestasi adalah, Rasio Rujukan Nonspesialistik kurang dari 1%; Kontak Rate minimal 250 per 1000 peserta; dan Angka Kunjungan Prolanis paling sedikit 50%. Ketika kriteria zona prestasi ini mampu diraih oleh sebuah FKTP, dan terverifikasi tentu saja, maka pembayaran kapitasi untuk FKTP tersebut sebesar 115%. Inilah salah satu kompensasi keberpihakan pada kualitas saya kira.

Meski masih banyak yang ingin saya sampaikan, saya harus mengakhiri catatan kecil ini dengan kembali menegaskan bahwa, substansi regulasi dalam Peraturan BPJS Nomor 2 Tahun 2015 ini cukup baik, tetapi implementasi pelaksanaannya akan lebih bijaksana jika dimulai pada bulan Januari 2016, bukan pada bulan Agustus 2015 ini. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Ini Cara Saya Memaknai Regulasi Baru Norma Kapitasi BPJS"