Ketika Seseorang Menelpon Saya


Suatu pagi, Sabtu 21 Nopember 2015. Seperti biasa di hari sabtu, saya selalu bersama anak-anak, menemani mereka bermain, menjawab hal-hal yang mereka ingin tahu, sejauh yang mampu saya jawab, berkelakar tentang pernik-pernik keseharian mereka di sekolah, di ruang kelas, di masjid, di jalan, di mobil antar jemput mereka, dan masih banyak lagi yang lainnya. Suatu ketika, dalam suasana canda tawa kami, salah seorang putriku yang masih duduk di bangku kelas 4 SD mengajukan sebuah pertanyaan tebakan.

“Ayah, tebak ya, mengapa tercantum huruf “S” di kostum yang dipakai Superman? Mengapa bukan huruf yang lain?”

Spontan saja kujawab, “Ya iyalah, huruf “S” kan simbol inisial Superman, sayang ...”

“Salah, Ayah”

“Salah?, lalu yang benar?”

“Yang benar, kalau huruf yang lain, “XL” misalnya, maka ukuran kostum Superman akan kedodoran, Ayah ...”

Hahaha.... Kami tertawa bersama .... Tebakan sekaligus jebakan ya ...

Pagi itu, jam menunjukkan pukul 07.31 WIB. Telepon genggam saya tiba-tiba berdering. Aku tau itu bukan dering panggilan masuk. Dering itu sudah kukenal sebagai tanda pesan masuk. Setiap kali ada SMS masuk, selama notifikasi tanda masuknya saya dengar, selalu saya buka dan baca. "Pesan apa gerangan yang saya terima pagi itu ya", aku membatin. Langsung saja kubuka untuk memastikannya.

“Assalamu’alaikum, maaf Pak Dokter, mohon izin menelpon”

“Wa’alaikumsalam wrwb. Baik, silahkan, dengan senang hati”, jawabku juga melalui SMS.

Sambil menunggu telepon masuk, aku kembali membatin, bahwa hampir pasti topik pembicaraannya nanti tidak akan keluar dari konteks jaminan pembiayaan pasien di Rumah Sakit. Memang, selama saya ditakdirkan Allah berada di Dinas Kesehatan, khususnya di Seksi Jaminan Kesehatan, arus komunikasi dengan berbagai pihak cukup deras. Bahkan, tak jarang terasa bagaikan arus yang mengalami turbulensi. Komunikasi itu, berjalin berkelindan, beberapa diantaranya berasal dari anggota dewan, pengurus partai, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Saya maklum, bagian saya bersentuhan langsung dengan kebijakan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu di luar kuota Jamkesmas. (Dalam era JKN, peserta Jamkesmas melebur menjadi peserta BPJS Kesehatan kategori PBI).

Keterbatasan kuota PBI (Penerima Bantuan Iuran) JKN/BPJS yang iurannya bersumber dari APBN, mengharuskan pembiayaan ekstra dari APBD untuk segmen masyarakat miskin atau tidak mampu yang berada di luar cakupan JKN/BPJS PBI itu.

Telepon yang kutunggu-tunggu itupun berdering nyaring...

“Assalamu’alaikum Pak Dokter”

“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”

“Aduuh maaf ini Pak Dokter, pagi-pagi saya sudah mengganggu. Ada warga kita yang sudah dua hari di rawat di Rumah Sakit. Pasien tersebut beserta seluruh anggota keluarganya sudah daftar BPJS Kesehatan yang Mandiri Pak Dokter, tapi aktivasi kepesertaannya masih harus menunggu kira-kira 12 hari lagi. Boleh tidak ya Pak Dokter pembiayaannya ditanggulangi dulu oleh Jamkesda sebelum jaminan BPJS mereka aktif?”

“Ooh, sejujurnya kita ingin Jamkesda kita membiayai siapapun yang membutuhkan pembiayaan. Hanya saja, butir-butir amanah yang tersurat dalam regulasi kita saat ini, Jamkesda dikhususkan secara terarah pada segmen masyarakat kita yang secara empiris faktual benar-benar miskin atau tidak mampu. Kalau pasien itu sudah mendaftar BPJS Mandiri, meski saat ini masih menunggu aktivasi, saya berasumsi kuat bahwa yang bersangkutan termasuk keluarga yang dikaruniai kemampuan finansial yang memadai oleh Allah. Artinya, posisi mereka berada di luar ruang lingkup penjaminan Jamkesda secara legal”

“Jadi apa yang bisa kita lakukan sekarang Pak Dokter”

“Paling tidak ada dua hal yang bisa kita lakukan. Pertama, terus meyakinkan kepada masyarakat bahwa Jamkesda yang kita miliki saat ini diamanahkan untuk mereka yang miskin atau tidak mampu. Jika ada masyarakat kita yang benar-benar miskin atau tidak mampu, sementara mereka belum memiliki jaminan apapun, maka tidak boleh ada seorangpun yang mengarahkan mereka untuk mendaftar BPJS Mandiri, karena ini akan lebih membebani mereka lagi dengan iuran rutin. Merekalah sesungguhnya yang paling berhak untuk mendapat jaminan pembiayaan Jamkesda. Dosa besar kalau kita tidak mengalokasikan pembiayaan untuk mereka. Sebaliknya, pahala besar (atau minimal tidak berdosa) kalau kita bisa mencegah orang-orang yang tidak berhak, mengambil jatah pembiayaan orang miskin atau tidak mampu. Ini yang pertama.

Kedua, kolaborasi dan sinergi di antara kita mutlak ditingkatkan terus, khususnya dalam hal sosialisasi atau diseminasi informasi tentang pentingnya mendaftar BPJS Kesehatan sedini mungkin, sebelum sakit. Mendaftar BPJS Kesehatan setelah jatuh sakit, hasilnya sering menyakitkan, apalagi harus menunggu masa aktivasi kepesertaan yang semakin lama.

“Oke, baik Pak Dokter, sementara demikian dulu, nanti saya hubungi lagi ya, terima kasih”

“Ya, siap. Sama-sama"

Catatan Khusus:

Dalam regulasi terbaru, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Pasal 11B Ayat (5) disebutkan: "Bayi yang dilahirkan oleh ibu kandung yang terdaftar sebagai PBI Jaminan Kesehatan secara otomatis ditetapkan sebagai PBI Jaminan Kesehatan"

Post a Comment for "Ketika Seseorang Menelpon Saya"