Posisi Saya dalam Dikotomi Fikih Puasa Hari Arafah


Catatan:
Artikel ini di-update terakhir pada hari Senin, 4 Juli 2022, pukul 15:00 WIB.

Sampai sejauh ini, sumber-sumber terpercaya yang mampu saya telusuri terkait pelaksanaan Puasa Hari Arafah, memperlihatkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Saya pribadi melihat, perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan acuan penafsiran: apakah pelaksanaan Puasa Hari Arafah itu mengikuti realitas momentum wukuf di Arafah Arab Saudi, ataukah mengikuti realitas penanggalan Hari Arafah di suatu zona wilayah atau kawasan yang notabene bisa berbeda dengan Arab Saudi sesuai perbedaan mathla’ di tiap-tiap zona? (Pengertian Mathla’ bisa dibaca di tautan ini: Pengertian Mathla’)

Bagaimanapun, perbedaan mathla' antar zona akan berdampak pada perbedaan penetapan penanggalan di masing-masing kawasan sesuai fakta-fakta rukyatul hilal masing-masing zona. Jika rukyatul hilal awal Dzulhijjah di suatu negeri, sehari setelah rukyatul hilal di Makkah umpamanya, maka Hari Arafah (9 Dzulhijjah) di negeri tersebut akan bertepatan dengan Hari Nahr (10 Dzulhijjah) di Makkah yang notabene merupakan salah satu hari yang dilarang berpuasa.

Di kawasan lain dengan mathla’ yang berbeda bisa terjadi sebaliknya: rukyatul hilal awal Dzulhijjah terjadi sehari sebelum rukyatul hilal di Makkah, sehingga dengan sendirinya hari Arafah (9 Dzulhijjah) di kawasan tersebut akan bertepatan dengan Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) di Makkah yang notabene bukan hari pelaksanaan Wukuf di Arafah. Seperti diketahui, jamaah haji yang memilih melakukan ritual tarwiah, posisi mereka pada 8 Dzulhijjah itu adalah di Mina, bukan di Arafah. Jamaah Tarwiah baru bergerak menuju Arafah pada pagi hari tanggal 9 Dzulhijjah setelah melaksanakan shalat subuh di Mina.

Dari fakta di atas, muncul dua pendapat yang berbeda mengenai  pelaksanaan Puasa Hari Arafah. Pendapat Pertama, pelaksanaan Puasa Hari Arafah mengikuti realitas momentum Wukuf di Arafah, bukan realitas penanggalan Hari Arafah yang notabene bisa berbeda akibat perbedaan mathla’ antar zona. Pendapat pertama ini mengambil sandaran fikih dari Komite Fatwa dan Riset Arab Saudi sebagai berikut:

يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم


Hari Arafah adalah hari dimana manusia melaksanakan Wukuf di Arafah. Puasa di Hari Arafah dianjurkan bagi orang yang tidak menunaikan ibadah haji. Karena itu, jika ingin menjalankan Puasa, maka berpuasalah di hari tersebut. (Fatawa Lajnah Daimah, No. 4052)

Pihak yang mendukung pendapat pertama berpegang teguh pada batasan bahwa Hari Arafah, hari yang sangat dianjurkan untuk menjalankan puasa Arafah bagi yang tidak menunaikan ibadah haji, adalah hari berkumpulnya jamaah haji di Arafah untuk melaksanakan Wukuf. Ini benar, tetapi saya melihat, gagasan inti pelaksanaan Puasa Hari Arafah versi pendapat pertama berfokus pada realitas momentum Wukuf di Arafah, bukan pada realitas penanggalan Hari Arafah yang secara faktual bisa bervariasi mengikuti perbedaan mathla’ antar zona wilayah. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat memudahkan seperti sekarang ini, menyuguhkan fakta bahwa realitas momentum wukuf bisa disaksikan secara realtime di belahan bumi manapun, dengan tempo akses nyaris tanpa perbedaan yang signifikan. Mengingat realitas momentum wukuf di Arafah tidak akan pernah bisa tergantikan dengan wukuf di Tanah Abang atau tanah-tanah yang lain misalnya, maka selama itu pula pelaksanaan Puasa Hari Arafah tidak bisa dinisbatkan pada perbedaan-perbedaan waktu penanggalan akibat perbedaan mathla’. Ini menurut pendapat pertama.

Pendapat Kedua, pelaksanaan Puasa Hari Arafah bersandar pada realitas penanggalan Hari Arafah yang bisa berbeda dengan penetapan di Arab Saudi mengikuti perbedaan mathla’. Dengan pendapat kedua ini, sangat dimungkinkan realitas pelaksanaan Puasa Hari Arafah tidak bersamaan dengan momentum Wukuf di Arafah Arab Saudi, walaupun bisa saja bersamaan pula.

Meski terjadi perberbedaan acuan penafsiran, namun saya melihat bahwa kedua pendapat di atas memiliki persamaan substansial yang kuat, yakni sama-sama berdiri pada satu pijakan yang identik, bahwa tidak ada Hari Arafah di luar tanggal 9 Dzulhijjah. Hari Arafah selalu pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Titik krusial kedua pendapat di atas terletak pada fakta bahwa tanggal 9 Dzulhijjah di belahan bumi manapun selalu ditetapkan sesuai kalender penanggalan yang juga mengacu pada penetapan hilal Dzulhijjah di zona wilayah tersebut. Oleh karena itu, para pendukung pendapat kedua, berdiri kokoh pada keyakinan bahwa momentum pelaksanaan Puasa Hari Arafah disesuaikan dengan realitas faktual tanggal 9 Dzulhijjah sesuai penetapan dari otoritas resmi di suatu negeri atau kawasan, tanpa terpengaruh momentum realitas wukuf di Arafah Arab Saudi, apalagi nomenklatur puasa tersebut bukan Puasa Wukuf, tetapi Puasa Hari Arafah.

Para pendukung pendapat kedua, mengambil sandaran fikih dari pendapat sejumlah ulama, antara lain Ikrimah, Al-Qosim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, Imam Malik, Ishaq bin Rahuyah, dan Ibnu Abbas. (Lihat Kitab Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, 4/123).

Ulama Muda Indonesia yang berdiri di pihak pendapat kedua ini antara lain adalah Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA sebagaimana bisa disimak dalam tausiah beliau berikut ini:

Saya Ada di Posisi Mana?

Dengan segala keterbatasan ilmu yang saya miliki, saya mohon izin untuk mengatakan bahwa kedua pendapat di atas ibarat dua tangkai bunga yang berbeda tetapi memiliki keindahan warna yang sama-sama mempesona. Perkenankan saya menegaskan, bahwa perbedaan penafsiran seputar momentum pelaksanaan Puasa Hari Arafah adalah ranah fikih ijtihadiah yang hanya memiliki dua kemungkinan: jika benar, mendapat dua pahala; jika salah mendapat satu pahala. Subhanallah. Tidak ada kerugian hidup dalam wilayah perbedaan ijtihadiah, sepanjang ada persamaan pemahaman bahwa perbedaan itu adalah bagian dari khazanah Rahmat-Nya. Di samping itu, ketika terjadi perbedaan pendapat dalam ranah fikih, maka pertanyaannya bukan  "mana yang benar dari pendapat-pendapat tersebut", melainkan "apa yang menjadi dasar dari setiap pendapat itu"

Maka, sambil berupaya belajar memaklumi perbedaan pendapat, saya tegaskan bahwa saya pribadi memilih pendapat kedua, sambil menghormati para pendukung pendapat pertama. Puasa Hari Arafah yang saya ikhtiarkan untuk bisa saya lakukan adalah Puasa di Hari Arafah yang waktunya mengikuti penetapan penanggalan Dzulhijjah di negeri dimana saya berada. Jika pada saatnya nanti saya tinggal di Madinah misalnya, sudah pasti tidak akan pernah saya mengalami perbedaan momentum Puasa Hari Arafah dengan realitas momentum Wukuf di Padang Arafah. Jika negeri di mana sekarang saya tinggal ada perbedaan dalam penetapan Hari Arafah (9 Dzulhijjah) karena landasan faktual perbedaan mathla’, maka saya yakin seyakin-yakinnya bahwa dari perbedaan tersebut bukan saya yang kemudian akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan, tetapi pihak otoritas yang menetapkan penanggalan itu. Wallahua’lam.

Post a Comment for "Posisi Saya dalam Dikotomi Fikih Puasa Hari Arafah"