Dalam iklim demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan terhadap kebijakan publik adalah sesuatu yang lumrah dan bahkan diperlukan. Kritik dan dukungan, jika disampaikan secara beradab dan berdasarkan data, akan menjadi energi positif bagi perbaikan tata kelola pemerintahan.
Salah satu kebijakan yang akhir-akhir ini menimbulkan respons beragam dari masyarakat Karawang adalah pengadaan videotron oleh pemerintah daerah. Sebagian warga mempertanyakan urgensinya, terutama ketika dihadapkan pada fakta bahwa masih ada kebutuhan infrastruktur dasar yang memerlukan perhatian. Pandangan ini tentu valid dan harus dihormati sebagai bentuk partisipasi warga dalam mengawal arah pembangunan.
Namun di sisi lain, ada pula pandangan yang meyakini bahwa pengadaan videotron merupakan bagian dari strategi komunikasi publik dan transformasi digital yang perlu dilakukan agar Karawang tidak tertinggal dalam tata kelola pemerintahan modern. Dalam tulisan ini, izinkan saya mencoba menelaah dari sudut pandang tersebut. Dan, mohon maaf, perspektif yang coba saya bangun dalam tulisan ini bukan untuk menafikan kritik, melainkan semata-mata untuk memperkaya ruang dialog kebijakan dengan pendekatan yang konstruktif dan rasional.
Di tengah riuh rendah kritik publik mengenai pengadaan videotron di Karawang, kita sebagai bagian dari masyarakat madani perlu menilik kebijakan ini secara lebih jernih dan menyeluruh. Setiap kebijakan publik memang seharusnya terbuka untuk dikritisi. Namun, kritik yang adil dan bermanfaat adalah yang dibangun di atas pemahaman utuh terhadap latar belakang, tujuan, dan arah kebijakan tersebut.
Pengadaan videotron bukanlah sebuah langkah tiba-tiba atau asal-asalan. Ia lahir dari kebutuhan zaman yang berubah cepat, di mana informasi, komunikasi visual, dan teknologi digital menjadi bagian tak terpisahkan dari tata kelola pemerintahan yang modern. Pemerintah Karawang tidak sedang bermain-main dalam belanja simbolik, tetapi sedang berupaya mengadaptasi diri dalam era transformasi digital.
Karawang adalah kota yang tumbuh cepat, baik dari sisi industri, urbanisasi, maupun jumlah penduduk. Dalam konteks ini, kebutuhan akan sistem komunikasi yang masif, cepat, dan menyentuh langsung ruang publik menjadi hal yang urgen. Di sinilah videotron hadir sebagai salah satu jawaban.
Dalam banyak kota maju, videotron menjadi sarana multifungsi—bukan sekadar papan iklan. Ia bisa menayangkan informasi kebencanaan, jadwal layanan publik, imbauan kesehatan masyarakat, dan kampanye sosial yang mendidik. Bayangkan ketika terjadi potensi banjir atau gempa, pemerintah bisa langsung menayangkan peringatan dini yang bisa dilihat semua orang di jalan.
Apalagi di tengah tantangan disinformasi di media sosial, videotron bisa menjadi kanal resmi penyebaran informasi pemerintah yang valid dan terkontrol. Ia memperkuat posisi negara sebagai sumber informasi utama di tengah banjir hoaks digital.
Kritik yang menyebut bahwa videotron tidak penting karena jalan masih banyak yang rusak tentu bisa dipahami. Namun, kita juga harus sadar bahwa pembangunan daerah tidak bisa dilakukan secara linier satu per satu. Pemerintah harus bekerja paralel di berbagai sektor, dan pengadaan videotron tidak otomatis berarti abai terhadap infrastruktur jalan.
Justru di banyak kasus, keberadaan videotron bisa mendorong transparansi pembangunan. Pemerintah bisa menayangkan program kerja, progres pembangunan infrastruktur, dan anggaran secara terbuka kepada publik. Ini menjadi bagian dari akuntabilitas visual yang semakin dituntut oleh masyarakat modern.
Lebih jauh, videotron juga bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan pelaku UMKM lokal. Jika sebagian slot tayangnya disediakan untuk promosi produk lokal dengan tarif terjangkau atau bahkan gratis melalui program CSR, maka kita sedang bicara tentang pemberdayaan ekonomi rakyat, bukan sekadar layar mewah di pinggir jalan.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa generasi muda Karawang tumbuh dalam budaya visual. Ketika dunia sudah akrab dengan video edukatif, kampanye visual, dan komunikasi digital, pemerintah pun harus menyesuaikan bahasa dan medianya agar lebih efektif menjangkau publik muda yang semakin dominan.
Dengan kata lain, videotron bukanlah proyek mercusuar, melainkan bagian dari infrastruktur komunikasi publik yang strategis. Sama halnya dengan pemerintah membangun website, akun media sosial, dan aplikasi digital, maka pengadaan videotron adalah upaya menyentuh warga secara langsung di ruang-ruang fisik mereka beraktivitas.
Tentu saja, efektivitas alat ini akan sangat bergantung pada kontennya. Jika hanya menayangkan pesan seremoni, wajah pejabat, atau informasi tidak relevan, maka kritik publik menjadi sah dan harus didengar. Tetapi jika dikelola secara kreatif dan inklusif, videotron bisa menjadi media yang menginspirasi dan mencerdaskan warga.
Pemerintah bisa menampilkan kutipan tokoh, peringatan hari nasional, hasil survei publik, informasi vaksinasi, jadwal bazar murah, hingga dokumentasi kegiatan warga. Semua itu memperkuat rasa keterlibatan masyarakat dalam kehidupan kota mereka.
Sebagian masyarakat mungkin belum merasakan manfaat langsung karena belum melihat videotron berfungsi sebagaimana dijanjikan. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa kebijakan ini bukan asal belanja, tetapi langkah strategis jangka panjang.
Harus diakui, waktu pelaksanaan pengadaan memang bisa dianggap kurang ideal jika dikaitkan dengan kondisi jalan yang rusak atau kebutuhan dasar lain yang mendesak. Namun, perlu ditegaskan pula bahwa setiap pos anggaran memiliki peruntukan dan mekanisme yang tidak serta merta bisa dialihkan sesuka hati.
Dana untuk pengadaan videotron, misalnya, bisa berasal dari program komunikasi publik atau belanja modal digitalisasi, yang memang sudah dirancang sejak awal tahun. Menghentikan atau mengalihkan anggaran tanpa prosedur yang benar justru berpotensi menimbulkan pelanggaran administratif.
Sebaliknya, memastikan bahwa alat tersebut benar-benar dimanfaatkan secara maksimal dan tepat sasaran adalah tugas penting setelah pengadaan selesai. Inilah yang harus dikawal bersama oleh masyarakat, DPRD, media, dan komunitas sipil.
Jika pemerintah membuka diri terhadap masukan publik, termasuk menerima kritik dan saran tentang konten, letak, atau penggunaan videotron, maka kehadiran alat ini tidak akan menjadi simbol pemisah antara pemerintah dan rakyat, tetapi jembatan komunikasi yang efektif dan egaliter.
Pemerintah juga dapat menginisiasi sayembara konten videotron dari sekolah, komunitas seni, atau kelompok pemuda. Dengan cara ini, videotron menjadi milik bersama, bukan hanya milik pemerintah. Ruang publik adalah milik publik, dan videotron harus mencerminkan semangat itu.
Di beberapa kota lain, videotron justru menjadi ajang edukasi visual yang sangat menarik: dari kampanye cuci tangan, larangan merokok di ruang publik, hingga animasi keselamatan lalu lintas. Karawang bisa memulai dari sana dan berkembang sesuai kearifan lokalnya.
Kita pun tak boleh menutup diri terhadap modernitas. Ketika teknologi berkembang cepat, pemerintah daerah harus ikut berbenah. Menolak teknologi hanya karena ada masalah lain yang belum selesai, adalah pilihan yang kurang bijak. Yang lebih tepat adalah memastikan bahwa teknologi tersebut berpihak dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Dalam dunia yang makin kompleks, pendekatan pembangunan tidak bisa lagi semata fisik dan beton. Komunikasi publik yang kuat dan cepat adalah bagian dari pelayanan dasar. Kita tidak bisa menyampaikan visi pembangunan hanya lewat poster statis atau baliho usang. Dunia sudah bergerak, dan Karawang harus ikut bergerak.
Pemerintah juga dapat memanfaatkan videotron untuk mendukung agenda-agenda nasional seperti kampanye pemilu damai, anti hoaks, bela negara, hingga penguatan nilai-nilai Pancasila. Ini adalah investasi sosial yang tidak bisa dinilai hanya dari bentuk fisiknya.
Yang terpenting, proyek ini harus dikelola dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Jika prinsip-prinsip ini dijaga, maka setiap kebijakan, termasuk pengadaan videotron, akan mendapat tempat di hati rakyat.
Kita semua tentu berharap agar pemerintah Karawang tidak hanya mendengar kritik, tetapi juga menggunakannya untuk memperbaiki dan memaksimalkan manfaat dari proyek ini. Tidak ada proyek yang sempurna, tetapi semua proyek bisa diperbaiki dan diarahkan ulang agar lebih berguna.
Kepada masyarakat, mari terus kritis, tetapi juga adil. Berikan ruang bagi pemerintah untuk menjelaskan dan memperbaiki. Dorong agar teknologi yang diadakan tidak menjadi monumen diam, tetapi alat aktif yang memberi cahaya pengetahuan, bukan sekadar lampu terang di malam hari.
Dan kepada media, mari ciptakan ruang informasi yang seimbang. Kritik dan apresiasi harus berjalan beriringan. Bangun wacana yang mencerdaskan, bukan yang membakar emosi semata.
Videotron hanyalah salah satu alat. Tapi cara kita memperlakukan dan memanfaatkannya bisa menjadi cerminan kualitas tata kelola daerah. Mari bersama memastikan bahwa alat ini menjadi cahaya komunikasi, bukan bara kontroversi.
Post a Comment for "Menyikapi Pro-Kontra Pengadaan Videotron Pemerintah Kabupaten Karawang"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.