Penambahan kuota siswa hingga 50 orang per kelas di sekolah negeri Jawa Barat telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Sebagian memandangnya sebagai langkah darurat yang berpihak pada pemerataan akses pendidikan, sementara yang lain mempertanyakan dampaknya terhadap mutu pembelajaran, keadilan ekosistem pendidikan, serta kesiapan infrastruktur sekolah.
Di tengah tarik ulur pandangan terhadap kebijakan di atas, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya negara menyeimbangkan antara memperluas akses dan menjaga kualitas?
Artikel ini saya buat sebagai bagian dari ikhtiar untuk menjawab pertanyaan mendasar di atas. Substansinya mengajak semua elemen merenungkan persoalan tersebut secara utuh, tidak hanya dari sisi kebijakan, tetapi juga dari sudut pandang guru, siswa, orang tua, dan seluruh ekosistem pendidikan yang terdampak, sebab pendidikan bukan sekadar angka dalam data, melainkan wajah-wajah yang berharap masa depan.
Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menambah kuota siswa menjadi maksimal 50 orang per kelas di sejumlah sekolah negeri menimbulkan perdebatan luas. Di satu sisi, kebijakan ini disebut sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat kecil, sementara di sisi lain muncul kekhawatiran terhadap penurunan mutu pendidikan.
Dalam konteks sosial, kebijakan ini lahir dari niat untuk mencegah anak-anak dari keluarga tidak mampu agar tidak putus sekolah. Ketika daya tampung sekolah negeri sangat terbatas, banyak siswa yang gagal diterima meskipun memiliki semangat belajar yang tinggi. Situasi ini tentu menyedihkan, terutama bagi keluarga yang tidak sanggup membiayai pendidikan di sekolah swasta.
Penambahan kuota dianggap sebagai solusi darurat. Daripada membiarkan anak-anak tidak sekolah, lebih baik mereka diterima meski ruang kelas harus menampung lebih dari kapasitas ideal. Gubernur menyebut ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap rakyat kecil. Pendidikan, menurut beliau, tidak boleh menjadi hak eksklusif bagi mereka yang mampu secara ekonomi. Sampai di sini kita faham kebaikan substansial dari kebijakan dimaksud.
Ketika Niat Baik Berbenturan dengan Realitas Empiris
Namun demikian, kebijakan tersebut menuai kritik tajam dari kalangan pendidik dan akademisi. Ruang kelas dengan 50 siswa tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Mereka harus menghadapi beban kerja yang lebih berat, dengan waktu yang sama, sumber daya yang terbatas, dan kebutuhan siswa yang semakin beragam.
Dalam praktiknya, pembelajaran dalam kelas besar sering kali kehilangan esensi. Guru sulit memberi perhatian individual kepada setiap siswa. Interaksi menjadi terbatas, dan kesempatan siswa untuk menyampaikan pendapat atau bertanya pun semakin sempit. Hal ini berisiko menurunkan kualitas pemahaman dan hasil belajar.
Sebagian besar guru menyampaikan kekhawatiran mereka secara terbuka. Di beberapa sekolah, mereka harus mengajar dengan kondisi ruang yang sempit, sirkulasi udara yang buruk, dan sarana yang belum diperbarui. Meja dan kursi tidak mencukupi, dan tidak jarang siswa harus berbagi tempat duduk dengan temannya.
Dari sisi siswa, kondisi ini juga tidak ideal. Lingkungan belajar yang padat membuat mereka sulit berkonsentrasi. Beberapa siswa mengeluhkan suasana kelas yang bising dan pengap, serta waktu belajar yang kurang efektif. Mereka juga merasa kurang diperhatikan oleh guru karena terlalu banyak siswa yang harus dilayani. Kondisi ini dapat mempengaruhi semangat belajar. Siswa yang tadinya bersemangat bisa menjadi pasif karena merasa tak terlihat. Mereka yang memiliki kesulitan belajar berisiko tidak tertangani. Dalam jangka panjang, ini dapat menurunkan prestasi dan kualitas lulusan.
Selain itu, kebijakan tersebut juga berdampak pada ekosistem pendidikan yang lebih luas. Sekolah swasta, terutama yang kecil dan baru berkembang, merasakan dampaknya. Banyak calon siswa yang sudah mendaftar di sekolah swasta memutuskan mundur karena diterima di sekolah negeri setelah kuota ditambah. Kondisi ini menyebabkan sekolah swasta kehilangan siswa. Jika ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan terjadi gelombang penutupan sekolah swasta, terutama yang berada di daerah.
Sekolah Swasta: Mitra yang Dilupakan?
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan, juga merasakan imbasnya. Banyak orang tua yang awalnya ingin memasukkan anaknya ke pesantren terpaksa mengubah keputusan karena tergiur biaya rendah di sekolah negeri. Padahal, pesantren memiliki nilai tambah tersendiri dalam pembentukan karakter.
Forum Kepala Sekolah Swasta dan RMI NU Jawa Barat menyatakan keprihatinan mereka. Mereka menilai kebijakan ini terlalu populis dan mengabaikan prinsip keadilan ekosistem pendidikan. Dalam pandangan mereka, seharusnya pemerintah daerah melibatkan sekolah swasta sebagai mitra strategis dalam memperluas akses pendidikan.
Skema subsidi bagi siswa miskin di sekolah swasta bisa menjadi alternatif yang lebih berimbang. Dengan begitu, siswa tetap bisa belajar dalam kelas yang ideal, sementara sekolah swasta tetap hidup. Kebijakan seperti ini juga menunjukkan bahwa negara tidak hanya berpihak kepada yang besar, tetapi juga merangkul yang kecil.
Dari sisi regulasi, kebijakan ini juga menuai sorotan. Banyak pihak khawatir bahwa pelaksanaan kebijakan ini tidak melalui mekanisme PPDB yang transparan. Ada kekhawatiran bahwa jalur kuota tambahan menjadi celah bagi praktik titipan atau pengaruh dari pihak tertentu.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan sejumlah lembaga pemantau pendidikan menyuarakan perlunya akuntabilitas. Jika kebijakan ini tidak diawasi dengan ketat, maka bisa mencederai prinsip keadilan dan transparansi dalam pendidikan. Lebih jauh, ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah negeri.
Wakil Mendikdasmen bahkan menyebut kebijakan ini bersifat "makruh", boleh dilakukan dalam kondisi darurat, tapi sebaiknya dihindari jika ada alternatif yang lebih baik. Dalam pandangannya, memperkuat kerja sama dengan sekolah swasta dan pesantren adalah langkah yang lebih strategis dan berkelanjutan.
Kebijakan di atas memang tidak sederhana. Di satu sisi ada tekanan untuk membuka akses pendidikan seluas mungkin, di sisi lain ada kewajiban menjaga kualitas dan keadilan. Tidak mudah menyeimbangkan keduanya, tetapi bukan berarti harus memilih salah satunya.
Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi menyeluruh. Jika memang kebutuhan ruang belajar mendesak, maka solusi yang lebih sistemik perlu segera dijalankan. Pembangunan ruang kelas baru dan rekrutmen guru tambahan harus menjadi prioritas utama.
Selain itu, pemanfaatan teknologi pembelajaran juga bisa menjadi alternatif. Kelas hybrid atau sistem rotasi pembelajaran dapat mengurangi kepadatan di kelas tanpa mengorbankan kualitas. Namun tentu saja, ini membutuhkan kesiapan infrastruktur dan pelatihan bagi guru.
Langkah jangka pendek seperti penambahan kuota hanya bisa dibenarkan jika disertai dengan langkah jangka menengah dan panjang. Jika tidak, maka kebijakan ini hanya akan menjadi tambal sulam yang pada akhirnya memperparah masalah.
Pendidikan tidak bisa hanya dilihat dari angka: berapa banyak yang diterima atau berapa persen yang lulus. Pendidikan adalah proses membentuk manusia yang utuh, dan untuk itu dibutuhkan suasana belajar yang sehat, adil, dan manusiawi.
Kita juga tidak boleh melupakan bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan. Mereka bukan mesin pengajar, melainkan pendidik yang membutuhkan ruang dan waktu untuk membina murid-muridnya. Kelas yang terlalu padat akan menyulitkan mereka menjalankan peran dimaksud.
Masyarakat pun perlu dilibatkan dalam diskusi kebijakan pendidikan. Orang tua, komunitas sekolah, dan organisasi profesi guru harus diajak bicara. Dengan pelibatan publik, kebijakan pendidikan akan lebih akomodatif dan tepat sasaran.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Ketika pemerintah membuat kebijakan, maka tanggung jawab itu juga harus dibagi dengan sekolah swasta, pesantren, guru, dan masyarakat. Tanpa kolaborasi, kebijakan sebaik apa pun bisa kehilangan makna.
Langkah-langkah yang bersifat darurat tetap membutuhkan dasar yang kuat. Tanpa perencanaan yang matang dan komunikasi yang baik, kebijakan bisa menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi. Oleh karena itu, refleksi sangat diperlukan. Apakah kita ingin memperluas akses pendidikan dengan mengorbankan kualitas? Ataukah kita ingin menjaga mutu dengan mengorbankan banyak anak dari keluarga tidak mampu? Jawaban yang bijak tentu saja bukan memilih satu diantara dua opsi tersebut, melainkan merumuskan moderasi kebijakan yang memberdayakan semua potensi agar kemudian bisa terwujud pendidikan yang benar-benar emansipatoris.
Prinsipnya, Kita perlu solusi yang menyeimbangkan kedua sisi itu. Pendidikan harus inklusif tanpa kehilangan martabatnya. Kita harus memastikan bahwa setiap anak tidak hanya bisa duduk di bangku sekolah, tetapi juga bisa belajar dengan baik.
Kebijakan penambahan kuota mungkin lahir dari niat baik, tetapi pelaksanaannya harus diiringi dengan kebijakan penyeimbang. Pemerintah harus menunjukkan bahwa ini bukan solusi jangka panjang, tetapi bagian dari proses menuju sistem pendidikan yang lebih adil dan bermutu.
Bagaimanapun, sekolah swasta dan pesantren harus dirangkul, bukan dijadikan korban. Guru harus didukung, bukan dibebani. Dan siswa harus diberi ruang belajar yang layak, bukan hanya tempat duduk di kelas yang sesak.
Mari kita jadikan momen ini sebagai titik tolak perbaikan. Bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk menata ulang arah pendidikan kita. Masa depan anak-anak kita terlalu berharga untuk dipertaruhkan oleh kebijakan yang tergesa-gesa. Jika kita sepakat bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan dan ketimpangan, maka kita juga harus sepakat bahwa jalan itu tidak boleh rusak oleh kegaduhan dan ketidaksiapan.
Semoga refleksi ini menjadi bahan perenungan bagi semua pihak: pemerintah, guru, sekolah, orang tua, dan masyarakat. Pendidikan bukan sekadar proyek, tetapi misi peradaban. Dan dalam misi ini, setiap kebijakan harus berdiri di atas prinsip keberpihakan, keadilan, dan kualitas. Karena pendidikan bukan hanya tentang seberapa banyak yang masuk kelas, tetapi seberapa besar yang tumbuh di dalamnya.
Pada akhirnya, saya harus menggarisbawahi sebuah esensi krusial, bahwa setiap kebijakan pendidikan adalah cermin dari cara kita memaknai masa depan. Pendidikan bukan sekadar urusan angka dan anggaran hari ini. Pendidikan pada hakikatnya adalah urusan menumbuhkan manusia seutuhnya.
Kebijakan penambahan kuota hingga 50 siswa per kelas mungkin lahir dari niat baik untuk memperluas akses, tetapi tanpa kesiapan yang menyeluruh, ia berisiko menimbulkan celah dalam mutu dan keadilan. Di sisi lain, menolak mentah-mentah kebijakan ini tanpa menawarkan solusi alternatif juga bukan pilihan bijak.
Inilah saatnya semua pihak duduk bersama, bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk merajut kembali arah pendidikan yang egaliter, bermutu, dan berkeadilan. Karena sejatinya yang sedang kita pertaruhkan bukan sekadar ruang kelas, melainkan ruang hidup generasi yang akan datang.
Semoga artikel ini menghadirkan insight baru sekaligus membuka kesadaran kolektif, bahwa pendidikan membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan; pendidikan butuh keberanian untuk berpikir jangka panjang dan sekaligus kebijaksanaan untuk mendengarkan semua suara. Baarokallahu fiikum.
Post a Comment for "Dilema Kuota 50 Siswa: Menampung Lebih Banyak, Kehilangan Lebih Dalam?"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.