Rumah sakit adalah garda akhir dalam sistem pelayanan kesehatan. Di sanalah harapan masyarakat bermuara ketika kondisi kesehatan mereka tidak tertangani di level sebelumnya. Tak jarang, rumah sakit menjadi satu-satunya tempat di mana seseorang berharap nyawanya bisa diselamatkan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa di berbagai daerah, rumah sakit menghadapi tantangan yang tidak ringan. Salah satunya adalah keterbatasan kapasitas tempat tidur atau bed, yang kerap memunculkan dilema ketika pasien datang dalam kondisi mendesak.
Dalam situasi seperti itu, rumah sakit berada di persimpangan antara keterbatasan fasilitas dan tuntutan pelayanan maksimal. Di satu sisi, tenaga kesehatan ingin memberikan pertolongan sebaik-baiknya. Di sisi lain, kondisi fisik rumah sakit — jumlah bed, ruang ICU, SDM — tidak selalu mampu menjawab lonjakan kebutuhan secara mendadak.
Ketika hal itu terjadi, tak jarang mencuat kabar pasien diarahkan untuk mencari rumah sakit lain yang memiliki kapasitas. Di sinilah muncul satu pertanyaan reflektif bagi kita semua: bagaimana sebaiknya sistem merespons kondisi semacam ini, agar beban moral tidak sepenuhnya jatuh pada rumah sakit maupun keluarga pasien?
Kita semua memahami bahwa tidak ada rumah sakit yang ingin menolak pasien. Sebaliknya, para tenaga medis dan manajemen rumah sakit setiap harinya bergulat untuk mengoptimalkan layanan dalam keterbatasan. Namun, tetap penting bagi kita bersama untuk meninjau bagaimana proses pengalihan pasien dilakukan, khususnya dari perspektif etik dan kemanusiaan.
Etika kedokteran mengajarkan prinsip non-maleficence — jangan sampai membahayakan. Ketika bed penuh dan pasien datang dalam kondisi gawat darurat, rumah sakit tetap memiliki tanggung jawab untuk melakukan langkah awal penyelamatan. Dan, yang terpenting, membantu proses rujukan secara aktif, bukan rujukan lepas.
Rujukan aktif itu bukan hanya surat pengantar atau surat rujukan. Rujukan aktif mencerminkan semangat kolektif antar fasilitas kesehatan untuk menjaga kesinambungan layanan. Rujukan aktif bermakna, bahwa rumah sakit pertama ikut serta memastikan pasien diterima di rumah sakit lain dengan koordinasi yang memadai.
Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, ditegaskan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan tidak boleh menolak pasien dalam keadaan darurat. Ini adalah amanat hukum sekaligus pengingat bahwa dalam kondisi mendesak, semua pihak dituntut untuk hadir dan bertanggung jawab.
Kita juga perlu menyadari bahwa keterbatasan kapasitas tidak hanya soal bed, tapi juga soal persebaran rumah sakit di wilayah tertentu. Rasio tempat tidur per seribu penduduk di beberapa daerah masih di bawah standar WHO. Ini bukan kesalahan rumah sakit, melainkan tantangan pembangunan layanan kesehatan yang perlu ditangani lintas sektor. Maka, daripada saling menyalahkan, kita perlu membangun narasi baru: kerja sama untuk menghadirkan sistem kesehatan yang lebih tanggap, empatik, dan bertanggung jawab.
Setiap rumah sakit tentu sudah memiliki prosedur pelayanan saat kapasitas penuh. Namun kini saatnya memperkuat SOP tersebut agar mencakup tindakan konkret: pemberian pertolongan awal, pencatatan kondisi pasien, komunikasi dengan rumah sakit rujukan, dan jika memungkinkan, bantuan transportasi.
Dukungan teknologi informasi untuk menunjang proses rujukan (khususnya rujukan pasien JKN) antar rumah sakit sudah disediakan pemerintah, antara lain berupa dashboard monitoring ketersediaan bed rumah sakit yang bisa diakses dengan mudah melalui aplikasi Mobile JKN. Aplikasi lainnya, yang saat ini sedang dioptimalkan fitur dan kapasitasnya adalah SISRUTE (sistem rujukan terintegrasi)
Selain itu, penguatan nilai-nilai etik pelayanan perlu terus dikembangkan melalui pelatihan dan diskusi antar petugas medis, manajemen rumah sakit, dan pemangku kebijakan. Hal ini bukan untuk menghakimi siapa pun, tetapi untuk menjaga semangat kemanusiaan yang menjadi inti dari profesi ini.
Pemerintah Kabupaten Karawang telah menyediakan kanal resmi pengaduan bagi masyarakat secara online berupa aplikasi TANGKAR (Tanggap Karawang). Kepentingannya, bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan sebagai sarana umpan balik demi perbaikan berkelanjutan.
Kita semua sedang berjuang dalam sistem yang kompleks. Maka penting untuk saling mendukung agar tidak ada satu pihak pun yang menanggung beban moral sendirian. Rumah sakit butuh dukungan pemerintah, termasuk BPJS Kesehatan. Pemerintah butuh masukan dari rumah sakit. Dan masyarakat butuh jaminan bahwa mereka tidak akan dibiarkan sendiri. (Baca juga: Kebutuhan Bed Meningkat, Respons BPJS Kesehatan Tidak Secepat Kesiapan Rumah Sakit)
Karena itu, momen ketika rumah sakit penuh bukan saat untuk saling menyudutkan. Justru itulah momen yang paling tepat untuk menunjukkan solidaritas sistemik — bahwa kita tidak akan membiarkan satu nyawa pun terabaikan.
Pasien tidak selalu membutuhkan keajaiban medis. Kadang, mereka hanya butuh didengar, butuh diberi arah, atau dibantu untuk tetap menyalakan harapan. Dan itulah tugas mulia kita semua: menjaga agar sistem kesehatan tetap berpihak pada kehidupan. (Baca juga: Benarkah Kebijakan Fiskal BPJS Kesehatan Menyandera Pelayanan Pasien di Rumah Sakit?)
Semoga dari kesadaran itu semua, langkah-langkah perbaikan bisa terus bergulir, agar di masa mendatang, ketika ada pasien yang datang dalam kondisi darurat, rumah sakit bisa berkata: “Kami akan bantu semampunya. Dan kami pastikan Anda tidak sendiri menghadapinya”. Karena dalam setiap pasien, ada nyawa yang dititipkan Tuhan; ada martabat kemanusiaan yang tidak boleh ternodai. Dan dalam setiap tindakan, ada cermin keberadaban kita sebagai bangsa. Baarokallahu fiikum.
Post a Comment for "Ketika Bed Rumah Sakit Penuh: Saatnya Kita Bahu-Membahu Menjaga Martabat Pelayanan Kesehatan"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.