Melontar 3 Tuhan Palsu Kehidupan

Hari ini 10 Dzulhijjah hingga 12 Dzulhijjah bagi yang mengambil Nafar Awal, atau hingga 13 Dzulhijjah bagi yang mengambil Nafar Tsani, para hujjaj akan melakukan ritual melontar jumrah di Jamarat, Mina. Sehari sebelumnya, 9 Dzulhijjah para tamu-tamu Allah itu melaksanakan Wukuf di Arafah. Sedemikian sentralnya makna wukuf di Arafah sehingga Rasulullah SAW menegaskan bahwa Al-Hajju Arafah, dalam arti kata tidak ada haji bagi yang tidak wukuf di Arafah.

Dua kali saya menjadi petugas haji, dua kali pula saya menjadi saksi realitas Arafah. Arafah adalah samudera makna. Bukan suatu kebetulan jika kata Arafah memiliki hubungan terminologis dengan kata Makrifah (atau Makrifat). Mengapa Wukuf, dalam pandangan jumhur ulama, justru di mulai saat terik-terik matahari mencapai puncaknya dan berakhir dengan terbenamnya matahari? Hanya Allah yang Maha Mengetahui  jawaban pasti pertanyaan ini. Saya hanya membayangkan bahwa panas terik itu seperti sebuah fakta simbolik analogis proses pembakaran dosa-dosa.

Usai “pembakaran dosa”, perjalanan berikutnya adalah ke Muzdalifah. Mabit di Muzdalifah harus malam hari, bukan siang hari. Mengapa harus malam hari? Lagi-lagi hanya Allah yang Maha Mengetahui. Saya hanya membayangkan bahwa suasana malam adalah episode yang paling syahdu untuk bermunajat kepada-Nya sebagai simbol pemenuhan kebutuhan spiritual, dan sekaligus penguatannya, karena realitas hidup tanpa sandaran spiritual yang kokoh bagaikan bangunan yang akan segera roboh. Mencari kerikil-kerikil di Muzdalifah saya maknai sebagai sebuah fase rekontemplasi diri pasca "pembakaran dosa", sekaligus sebagai analogi konfirmatif pembersihan diri dari segala "kerikil-kerikil"  penggangu akidah yang tidak jarang menjadi penghalang mahabbah (cinta) kepada-Nya. Pemaknaan ini memiliki titik temu dengan pemaknaan Muzdalifah sebagai Masy'aril Haram, simbol-simbol kesucian.

Usai mabit di Muzdalifah, tibalah saatnya bergerak ke Mina untuk melontar jumrah. Di hari Nahr, hari pertama di Mina, bertepatan dengan Idul Adha, hanya satu jumrah yang dilontar oleh para hujjaj, yakni jumrah yang paling besar: Jumratul Aqabah. Dua atau tiga hari berikutnya, dilakukan ritual lontar untuk ketiga jumrah: Ula, Wustha, Aqabah. Ritual melontar jumrah, saya maknai sebagai ikhtiar simbolik untuk menyingkirkan hegemoni 3 jenis Tuhan Palsu dalam kehidupan, yakni Harta, Tahta dan Popularitas, karena ketiganya seringkali menggelincirkan, memalingkan, atau mengotori kemurnian mahabbah seorang hamba kepada Sang Khalik.

Menariknya, tiap kali kita melontar 3 "Tuhan Palsu" itu, yang kita baca adalah Bismillahi Allahu Akbar. Bacaan singkat ini seperti masuk  menyelinap dalam relung-relung kesadaran kita bahwa kebesaran, kemuliaan dan keagungan dalam hidup ini bukan pada kepemilikan harta, tahta dan/atau popularitas, melainkan pada kepemilikan Aqidah Tauhid kepada Allah saja. Harta, Tahta dan Popularitas harus kita tundukkan dalam rangka mengagungkan nama-Nya; bukan sebaliknya: Harta, Tahta dan Popularitas kita kejar dengan mencampakkan segala aturan-Nya. Semakin relevan konteks ini dengan kenyataan bahwa usai melontar jumrah di Hari Nahr, kalimat-kalimat Talbiyah tergantikan dengan kalimat-kalimat Takbir, Tahlil dan Tahmid yang esensi pokoknya tidak lain adalah proklamasi kemerdekaan kita dari segala godaan dan/atau tipuan Tuhan-Tuhan palsu dalam kehidupan. Wallahua’lam. Hajjan Mabruuran. (Jangan lewatkan juga info ini ya: Jam-Jam "Terlarang" Jamaah Haji Indonesia Melontar Jumrah)

Post a Comment for "Melontar 3 Tuhan Palsu Kehidupan"