Epistemologi Kitab Suci di Atas Konstitusi


Sudah menjadi bagian dari prinsip hidup saya bahwa Kitab Suci harus berada di atas Konstitusi. Apapun resikonya, saya akan selalu berikhtiar untuk bisa hidup di atas prinsip tersebut. Saya berpikir, dan kemudian menjadi sangat yakin, bahwa sesungguhnya tidak akan pernah ada kehidupan dalam aturan hidup yang berseberangan dengan Kitab Suci. Kalau toh ada, itulah kehidupan yang akan menyebabkan kematian yang sia-sia.

Konstitusi harus kita junjung tinggi, jika dan hanya jika sejalan dengan ruh Kitab Suci. Kitab Suci yang terpelihara orisinalitasnya tidak mungkin salah. Kitab Suci yang terpelihara orisinalitasnya bersumber dari Zat yang Kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Kitab Suci yang terpelihara orisinalitasnya bersumber dari Zat yang menciptakan kehidupan ini sampai batas-batas waktu yang telah ditentukan dalam kebijaksanaan-Nya. Sekali lagi, Kitab Suci yang terpelihara orisinalitasnya itu, Wajib Benar dan Mustahil Salah.

Saya bersyukur hidup di Negara yang berfalsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Seluruh Sila, dari Sila Pertama hingga Sila Kelima Pancasila, dan seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam Konstitusi dasar itu tidak menyimpang dari ruh Kitab Suci. Falsafah dan/atau konstitusi seperti inilah yang layak untuk diikuti. Sila Pertama Pancasila, menegaskan akidah monoteisme kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa:

 قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ 

Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa" (QS. Al-Ikhlas: 1)

Perhatikanlah bahwa prinsip monoteisme di atas merupakan kristalisasi nilai Tauhid yang tak terbantahkan dari sudut pandang manapun tinjauannya. Dan inilah dasar paling kokoh untuk menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia bukan tempat hidup bagi penganut faham Atheisme, faham yang mengingkari adanya Tuhan, mengingkari Sila Pertama Pancasila, atau mengingkari hal yang paling fundamental dalam falsafah hidup Bangsa Indonesia. Siapapun yang mengingkari adanya Allah, hanya boleh hidup di bumi yang bukan ciptaan Allah. Monggo, silahkan cari bumi dengan kriteria tersebut.

Sila Kedua Pancasila, menegaskan prinsip-prinsip dasar emansipatoris kemanusiaan yang adil dan beradab:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ


Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Maidah: 8) 

Sila Ketiga Pancasila, mengelaborasi nilai-nilai dasar persatuan yang mengokohkan ukhuwah persaudaraan dengan berpegang teguh pada substansi ajaran yang mampu menyatukan segala keniscayaan perbedaan:

 وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ 


Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (QS. Ali Imran: 103)

Sila Keempat Pancasila, mencerminkan hikmah kebijaksanaan hidup dalam kepatuhan penuh pada sumber nilai, baik yang berasal langsung dari sumber segala sumber nilai itu sendiri maupun nilai-nilai yang secara representative dibangun atas dasar prinsip musyawarah mufakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً 


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa: 59)

 َالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ 


Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka (QS. Asy-Syura: 38) 

Sila Kelima Pancasila, mengukuhkan urgensi penegakan nilai-nilai keadilan bagi semua, bagi seluruh komponen bangsa, dalam seluruh tataran sendi kehidupan:

 وإِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 


Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS. An-Nahl: 90)

Konstitusi dasar negeri ini menegaskan prinsip pokok bahwa semua kebaikan hidup hanya bisa diwujudkan dalam suasana kehidupan yang terbebas dari segala pengekangan dalam bentuk apapun yang menodai perikemanusiaan dan perikeadilan. Inilah prinsip pokok kemerdekaan yang secara afirmatif dinyatakan dalam Preambule atau Mukaddimah Konstitusi kita sebagai Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, bukan pemberian bangsa manapun. Karena itu, dalam mengisi kemerdekaan ini, yang berarti dalam menapaki kehidupan ini, adalah sebuah kejahatan kemanusiaan jika kemudian kita membuat aturan hidup yang menyelisihi Kitab Suci. Kita harus segera insaf, kita harus segera sadar sesadar-sadarnya bahwa memang Kitab Suci haruslah di atas Konstitusi. Membalik logika ini sama artinya dengan membalik arah kehidupan menuju kejahiliahan (dan juga kejahilan) yang hanya akan menghancurkan kehidupan itu sendiri. Inilah perspektif epistemologis Kitab Suci di Atas Konstitusi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari prinsip hidup saya. Allahu Akbar. (Sayang untuk dilewatkan juga artikel saya yang satu ini: Sikap Final Saya Terhadap Penista Al-Quran)

Post a Comment for "Epistemologi Kitab Suci di Atas Konstitusi"