AI dan Jebakan Kenyamanan Palsu (Sebuah Perspektif Islami)

AI dan Jebakan Kenyamanan Palsu (Sebuah Perspektif Islami)

Di era digital ini, kecerdasan buatan (AI) perlahan-lahan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia hadir dalam ponsel pintar, menyusupi sistem pendidikan, dunia kerja, hingga ruang pribadi. Kecepatan, kemudahan, dan efisiensi yang ditawarkan menjadikan AI tampak seperti sahabat baru umat manusia. Namun, di balik kenyamanan itu, satu pertanyaan mendasar muncul: apakah kita benar-benar merasa nyaman, atau hanya diberi ilusi kenyamanan?

Dalam pandangan Islam, kenyamanan sejati bukan hanya soal fisik dan kecepatan akses informasi, melainkan kedamaian hati yang hadir karena dekat dengan Allah. AI bisa menghibur, bisa memudahkan, bisa memberi jawaban cepat. Namun, ia tak mampu menenangkan hati yang gelisah, tak mampu memberi makna dalam penderitaan, dan tak pernah bisa menggantikan dzikir sebagai penyejuk jiwa.

ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
(QS. Ar-Ra’d: 28)

Ketenangan yang lahir dari hubungan spiritual dengan Sang Pencipta tidak bisa digantikan oleh simulasi percakapan dengan mesin. AI tidak berzikir. AI tidak bisa bermunajat. Maka, rasa nyaman yang muncul darinya bisa jadi hanyalah selimut halus yang menyamarkan kehampaan.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ..."

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah.”
(HR. Tirmidzi)

Kenyamanan palsu juga bisa membuat manusia lalai. Terlalu terbiasa dengan jawaban instan bisa menumpulkan akal, melemahkan semangat mencari ilmu, dan membuat kita enggan bersabar. Padahal, dalam Islam, proses adalah bagian dari pendidikan ruhani. Bersabar dalam pencarian, bersungguh-sungguh dalam memahami, itulah yang menumbuhkan hikmah.

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ

Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.
(QS. Ali Imran: 146)

AI hanyalah alat. Ia bukan musuh. Tetapi jika alat ini mulai menggantikan tempat interaksi antarmanusia, melemahkan keinginan untuk bertafakur dan berdialog, maka kita telah masuk dalam jebakan "kenyamanan palsu". Kita merasa dekat, padahal jauh. Kita merasa tahu, padahal dangkal.

Lebih mengkhawatirkan lagi, ketika AI mulai dipakai untuk menunda perenungan spiritual, menggantikan percakapan batin dengan hiburan digital yang seolah cerdas. Di titik itu, kita tidak hanya mengalami degradasi emosional, tetapi juga krisis ruhani.

Islam memuliakan akal, tetapi juga menegaskan bahwa hidayah dan makna sejati datang dari Allah, bukan dari mesin.

وَمَا تَشَـٰٓءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Insan: 30)

Maka, saat dunia menawarkan kenyamanan instan melalui AI, marilah kita berhenti sejenak dan bertanya:

Apakah ini mendekatkan kita pada Allah, atau justru menjauhkan? Apakah ini membangun makna, atau sekadar memberi pelarian dari rasa hampa?

Karena pada akhirnya, kenyamanan sejati bukanlah yang bebas dari masalah, tetapi yang tetap menemukan ketenangan walau di tengah badai — karena hatinya bergantung hanya kepada Allah.

Post a Comment for "AI dan Jebakan Kenyamanan Palsu (Sebuah Perspektif Islami)"