Banyak orang mengenalnya hanya sebagai Pemimpin Tertinggi Iran. Sedikit yang tahu bahwa Ayatullah Khamenei adalah ulama kharismatik yang pernah dipenjara, diasingkan, dan nyaris terbunuh demi menegakkan keadilan dan membela umat tertindas. Ia bukan hanya pewaris ruh Revolusi Islam, tapi juga penyusun strategi besar dalam perlawanan terhadap kezaliman global, terutama dalam isu Palestina. Siapa sebenarnya beliau? Artikel ini mencoba mengenalkan lebih dekat sosok yang kini menjadi panutan perlawanan dunia Islam itu.
Ayatullah Sayyid Ali Hosseini Khamenei adalah sosok yang telah memainkan peran sentral dalam geopolitik Timur Tengah dan dunia Islam sejak akhir abad ke-20. Sebagai Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, beliau bukan hanya pemimpin spiritual dan politik negaranya, tetapi juga simbol perlawanan terhadap dominasi global yang menindas.
Lahir di kota suci Mashhad pada 17 Juli 1939, Khamenei tumbuh dalam lingkungan religius yang sarat dengan tradisi ilmu dan ketakwaan. Ayahnya, Ayatullah Javad Khamenei, adalah seorang ulama terkemuka yang menanamkan nilai-nilai keilmuan dan keikhlasan dalam jiwa muda Ali sejak usia dini.
Sebagai santri dan pelajar agama, Khamenei menapaki jalan panjang keilmuan di bawah bimbingan para marja‘ besar seperti Imam Ruhullah Khomeini, Ayatullah Borujerdi, dan Ayatullah Milani. Ia dikenal sebagai murid yang cerdas, penuh disiplin, dan memiliki kecenderungan mendalam terhadap studi tafsir, fiqih, dan filsafat Islam.
Kehidupan intelektualnya tak hanya berkisar pada bangku hauzah (lembaga pendidikan keislaman tingkat tinggi, dalam tradisi Syiah Itsna ‘Asyariyah atau Syiah Dua Belas Imam. Ia juga menekuni karya sastra dan menerjemahkan buku-buku penting dari bahasa Arab ke Persia. Kegemarannya terhadap puisi klasik Iran dan tulisan-tulisan tokoh seperti Sayyid Quthb dan Maududi memperkaya horizon pemikirannya yang kritis dan revolusioner.
Masa Perlawanan dan Peran dalam Revolusi Islam
Khamenei termasuk ulama muda yang aktif dalam gerakan anti-monarki Pahlavi sejak awal tahun 1960-an. Ia tidak sekadar berdakwah di mimbar, tetapi juga aktif dalam menyebarkan ide-ide revolusi melalui ceramah dan risalah-risalah bawah tanah.
Selama masa kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi, Khamenei berulang kali dipenjara, diasingkan, dan diawasi oleh SAVAK (Sazmani Ittila'at Va Amniyati Keshvar), badan intelijen dan keamanan negara yang terkenal kejam. Namun tekanan itu tidak membungkam suaranya—justru mengasah keberaniannya.
Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini, Khamenei menjadi bagian dari lingkaran dalam yang mengawal transisi Republik Islam. Ia ditunjuk menjadi anggota Dewan Revolusi dan Dewan Pertahanan Nasional.
Dalam periode awal pasca-revolusi, Khamenei menjabat sebagai Imam Jumat Teheran dan dikenal dengan khutbah-khutbahnya yang bernas, penuh semangat, dan membangkitkan kesadaran politik rakyat. Suaranya menggema sebagai pelita di tengah gelombang krisis.
Pada masa Perang Iran-Irak (1980–1988), Khamenei menjadi figur utama dalam menjaga moral bangsa. Ia turun ke medan tempur, menyemangati pasukan, dan menjadi penghubung strategis antara pasukan militer dan kepemimpinan politik.
Pada tahun 1981, setelah terbunuhnya Presiden Mohammad Ali Raja'i dalam sebuah serangan bom, Khamenei diangkat menjadi Presiden Republik Islam Iran. Ia menjadi satu-satunya ulama yang pernah menduduki jabatan tersebut.
Sebagai presiden, Khamenei bekerja erat dengan Perdana Menteri Mir-Hossein Mousavi, dan keduanya menghadapi tantangan berat, termasuk embargo ekonomi dan agresi militer. Namun kolaborasi mereka membentuk fondasi kemandirian nasional Iran.
Dari Ulama Nasional ke Pemimpin Tertinggi Dunia Islam
Setelah wafatnya Imam Khomeini pada 1989, Dewan Ahli memilih Sayyid Ali Khamenei sebagai Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, sebuah posisi puncak yang menempatkannya sebagai marja‘ politik dan spiritual tertinggi di negara tersebut.
Di bawah kepemimpinannya, Iran memasuki babak baru dalam revolusi: membangun sistem ketahanan nasional yang berbasis pada kemandirian ilmiah, industri, dan pertahanan, sembari mempertahankan prinsip-prinsip revolusi Islam.
Salah satu ciri utama dari kepemimpinan Khamenei adalah konsistensinya dalam menentang imperialisme Barat, khususnya dominasi Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel. Beliau dengan tegas menyebut AS sebagai "Setan Besar" dan Israel sebagai "tumor ganas yang harus dicabut".
Dalam setiap pidatonya tentang Palestina, Khamenei menekankan bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan umat Islam. Ia menolak solusi dua negara dan mendukung pembebasan seluruh tanah Palestina dari Sungai hingga Laut.
Konferensi Internasional untuk Mendukung Intifadha Palestina yang diselenggarakan di Teheran di bawah arahannya menjadi panggung solidaritas global, menggabungkan kekuatan ulama, aktivis, dan pemimpin dari berbagai negara Muslim dan non-Muslim.
Hari Quds Internasional—yang diperingati setiap Jumat terakhir bulan Ramadhan—adalah simbol persatuan umat Islam dalam membela hak-hak bangsa Palestina yang dirampas.
Khamenei mengajarkan bahwa perlawanan bukanlah kebencian buta, melainkan perjuangan suci melawan penjajahan. Ia menyeru rakyat Palestina untuk bersatu dan menolak dikotomi faksi.
Iran di bawah bimbingannya memberikan dukungan politik dan logistik kepada kelompok perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam, seraya menghindari keterlibatan langsung militer.
Warisan Intelektual, Sosial, dan Strategis
Dalam dunia Islam yang terpecah karena sekterianisme, Khamenei tetap menyerukan persatuan Sunni-Syiah. Ia memperingatkan bahwa konflik internal adalah alat yang digunakan musuh untuk melemahkan perlawanan terhadap hegemoni asing.
Karya-karyanya yang terdokumentasi dalam bentuk khutbah, risalah, dan pidato resmi telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia dikenal tidak hanya sebagai politisi atau ulama, tapi juga sebagai pemikir dan pembimbing ruhani yang kharismatik.
Khamenei juga menjadi pelopor gerakan "ekonomi resistensi", suatu konsep ekonomi yang mandiri dan tangguh terhadap tekanan luar, yang berperan besar dalam mempertahankan stabilitas Iran di tengah sanksi internasional.
Dalam bidang sains dan teknologi, Iran mengalami lonjakan besar pada masa kepemimpinannya. Ia mendorong generasi muda untuk menekuni riset dan inovasi—termasuk dalam nuklir, teknologi medis, dan pertahanan.
Khamenei dikenal sebagai figur yang sederhana dalam kehidupan pribadi. Ia tinggal di rumah yang bersahaja, memakai pakaian tradisional, dan menolak kemewahan duniawi meski memiliki kekuasaan tertinggi.
Ia senantiasa membaca buku, mendengarkan musik tradisional Persia, dan memelihara hubungan yang dekat dengan para penyair dan seniman yang mendukung perjuangan nilai-nilai Islam dan kemerdekaan.
Dalam ranah sosial, beliau menginisiasi banyak lembaga karitatif dan pendidikan yang menopang kehidupan rakyat miskin dan anak-anak yatim, serta memajukan kaum muda dalam bidang keilmuan dan spiritual.
Hubungan luar negeri Iran di bawah Khamenei diarahkan pada prinsip independensi dan keadilan global. Ia mengajak negara-negara Global Selatan untuk membentuk poros kekuatan baru yang adil dan seimbang.
Khamenei menentang keras normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dengan Israel. Menurutnya, normalisasi tersebut adalah pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina dan penghancuran kesadaran Islam.
Ia menyebut bahwa masa depan bukan milik kekuatan nuklir, tetapi milik bangsa yang beriman, bersabar, dan berjuang. Dalam kata-katanya, “Palestina akan merdeka, dan Al-Quds akan kembali ke pangkuan umat Islam.”
Khamenei juga aktif membina generasi muda dengan visi jihad intelektual. Ia menekankan pentingnya peran mahasiswa, santri, dan pemuda dalam membentuk masa depan Islam yang tercerahkan.
Bagi bangsa Iran, Khamenei adalah penjaga ruh revolusi. Ia menjadi poros kestabilan ideologis di tengah guncangan geopolitik, serta simbol dari kesetiaan terhadap prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh Imam Khomeini.
Dalam konteks global, ia adalah satu dari sedikit pemimpin yang secara konsisten menentang tatanan dunia hegemonik dan menawarkan alternatif yang berbasis keadilan, spiritualitas, dan solidaritas umat.
Kini, meskipun usia senja telah menghampirinya, wibawa dan pengaruh Sayyid Ali Khamenei tetap besar. Ucapannya dipantau, arahannya menjadi pedoman, dan kehadirannya menjadi simbol istiqamah bagi jutaan pengikutnya.
Biografinya bukan sekadar kisah pribadi, melainkan kisah sebuah bangsa dan sebuah revolusi yang tidak tunduk pada arus zaman. Ia adalah ruh dari perlawanan modern yang berakar dalam iman dan keteguhan.
Dalam sejarah panjang dunia Islam, Khamenei akan dikenang sebagai ulama mujahid, pemimpin tegar, dan pembela Palestina yang tak pernah lelah menyerukan: "Hari kemenangan akan datang, karena kebenaran takkan pernah kalah."
Sebagai penutup atau penegas akhir, Ayatullah Khamenei bukan hanya pemimpin bagi bangsa Iran, tapi suara yang mewakili jeritan umat yang tertindas dan harapan bagi mereka yang mendambakan kemerdekaan hakiki. Ia mengajarkan bahwa perlawanan adalah ibadah, bahwa mempertahankan kehormatan umat adalah kewajiban, dan bahwa diam terhadap kezaliman adalah bentuk pengkhianatan. Di balik jubah dan serbannya, tersimpan keteguhan yang mampu mengguncang sistem dunia. Kini, tugas kita bukan hanya mengenal sosoknya, tapi menyambung estafet kesadarannya.
Post a Comment for "Mengenal Sosok Ayatullah Khamenei, Ulama yang Mengguncang Hegemoni, dan Arsitektur Perlawanan Global"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.