Dalam beberapa pekan terakhir, muncul keluhan dari sejumlah rumah sakit di berbagai daerah mengenai lambatnya proses pengakuan tambahan tempat tidur (bed) oleh BPJS Kesehatan. Padahal, dari sisi kesiapan fasilitas, tenaga medis, dan infrastruktur, rumah sakit-rumah sakit tersebut telah siap untuk menambah kapasitas pelayanan.
Ketika bed baru tidak masuk dalam sistem kontrak BPJS Kesehatan dengan rumah sakit mitra, maka pasien-pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan sendirinya tidak bisa mengakses bed tambahan dimaksud. Akibatnya, dan sekaligus ironisnya, pasien harus mengantre (tertahan di IGD misalnya), layanan rawat inap terhambat, dan fasilitas yang ada tidak bisa difungsikan secara optimal. Artikel ini sengaja saya buat untuk mencoba menjawab mengapa fakta menyakitkan di atas bisa terjadi.
Bayang-Bayang Defisit dalam Kebijakan Pelayanan
Salah satu dugaan kuat yang mengemuka adalah pengaruh kebijakan pengendalian biaya oleh BPJS Kesehatan, yang berakar pada persoalan defisit anggaran. Meskipun secara resmi BPJS menyatakan bahwa keuangannya telah membaik, namun kekhawatiran akan kembali terjadinya defisit tampaknya tetap menjadi dasar kehati-hatian dalam mengambil keputusan.
Sesungguhnya, defisit bukanlah isu baru bagi BPJS Kesehatan. Dalam beberapa tahun pertama implementasi JKN, BPJS Kesehatan sempat mengalami defisit yang cukup besar. Hal itu terjadi karena total biaya klaim peserta lebih tinggi dibandingkan dengan total iuran yang dikumpulkan.
Langkah-langkah penyeimbangan anggaran sempat dilakukan, termasuk melalui suntikan dana dari pemerintah dan penyesuaian besaran iuran peserta. Namun, luka lama itu tampaknya masih membekas dalam cara BPJS Kesehatan menyusun kebijakan layanan.
Salah satu bentuk kehati-hatian itu adalah dengan membatasi ekspansi kapasitas layanan yang bisa diklaim, termasuk menunda atau menolak pengajuan bed tambahan di rumah sakit mitra.
Persoalannya adalah, pendekatan semacam itu bisa berdampak serius pada akses dan mutu pelayanan kesehatan. Bed secara fisik tersedia, namun secara administratif dianggap belum “ada”.
Konsekuensinya jelas: pasien JKN tidak bisa menggunakan fasilitas tersebut, meskipun rumah sakit siap menampung. Sementara itu, antrean pasien tetap panjang, dan keluhan masyarakat terus bertambah.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan etis: apakah benar pendekatan penghematan biaya layak diterapkan pada sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak?
Antara Efisiensi Fiskal dan Keadilan Sosial
Dalam banyak sistem kesehatan di dunia, pembiayaan memang menjadi aspek yang sensitif. Namun, sistem yang sehat tidak hanya ditopang oleh neraca anggaran yang seimbang, tetapi juga oleh keberpihakan terhadap kebutuhan masyarakat.
Keseimbangan antara efisiensi dan keadilan sosial menjadi sangat penting dalam desain kebijakan jaminan sosial. Terlalu ketat dalam pengendalian biaya bisa menjauhkan sistem dari nilai-nilai solidaritas dan inklusi.
Jika kita menilik semangat awal dibentuknya JKN, tujuan luhurnya adalah menjamin seluruh rakyat Indonesia mendapat perlindungan kesehatan secara merata, tidak peduli status sosial, lokasi geografis, atau kapasitas ekonomi. Ketika tujuan luhur ini dikompromikan oleh kekhawatiran fiskal semata, maka sejatinya kita sedang membiarkan sistem JKN kehilangan ruhnya.
Padahal, rumah sakit yang berinisiatif menambah kapasitas sesungguhnya sedang menjalankan fungsi pelayanan yang semestinya diapresiasi. Mereka menyikapi kebutuhan riil di lapangan dan menyiapkan solusi. Alih-alih diberi ruang untuk mengembangkan pelayanan, mereka malah terbentur oleh ketentuan administratif yang tidak akomodatif.
Di sisi lain, masyarakat tidak memahami kompleksitas ini. Yang mereka lihat hanyalah antrean panjang, ketersediaan tempat tidur (bed) yang tidak kunjung terbuka, dan proses pelayanan rawat inap yang terhambat.
Harus dicatat, bahwa ketidakpahaman publik itu bisa berkembang menjadi ketidakpercayaan terhadap rumah sakit, dan bahkan lebih celakanya lagi terhadap sistem JKN itu sendiri.
Wajib hukumnya BPJS Kesehatan membaca secara cermat fenomena atau realita ini, dan tidak membiarkan ketimpangan semacam ini berlarut-larut. Harus ada kejelasan, transparansi, dan keberanian mengambil keputusan progresif. Jika benar, sekali lagi jika benar, penundaan pengakuan bed terjadi karena kendala fiskal, maka BPJS Kesehatan perlu menyampaikannya secara terbuka kepada rumah sakit, pemda, dan publik.
Solusi Progresif dan Peran Negara
Keterbukaan itu akan membuka ruang dialog untuk mencari solusi bersama. Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan, perlu memberikan afirmasi kepada BPJS Kesehatan agar tidak terjebak dalam logika penghematan yang kaku.
Terobosan lainnya adalah mempercepat proses verifikasi dan kontrak bed baru dengan mekanisme digital yang efisien dan akuntabel. Bagaimanapun, tidak boleh ada alasan teknis untuk membiarkan proses administratif berlarut-larut tanpa kejelasan atau tanpa kepastian. Bukankah sektor kesehatan tidak seperti sektor konsumsi biasa? Menunda pelayanan bisa berarti kehilangan nyawa atau memperburuk kualitas hidup seseorang. Dan itu artinya kita mencederai martabat dan esensi kemanusiaan.
Skema afirmatif untuk rumah sakit yang bersedia menambah bed seharusnya menjadi bagian dari strategi nasional pemerataan layanan. Apalagi di daerah-daerah strategis seperti Karawang yang menjadi simpul arus pasien lintas kabupaten, peran RS tidak bisa dibatasi hanya untuk warga lokal.
Rumah sakit yang menerima limpahan pasien dari berbagai daerah sejatinya sedang menjalankan fungsi regional, dan itu harus dihargai. Ketika fungsi regional dijalankan tanpa dukungan yang memadai, maka yang terjadi adalah kelelahan sistemik yang ujung-ujungnya adalah melahirkan kekecewaan masyarakat.
Jika kondisi menyedihkan itu terus dibiarkan, maka rumah sakit akan kehilangan insentif untuk berinovasi dan meningkatkan kapasitas. Dalam jangka panjang, kita berisiko menciptakan stagnasi dalam sistem pelayanan kesehatan, dan akhirnya mencederai cita-cita besar JKN itu sendiri.
Sudah saatnya kebijakan fiskal dalam sektor kesehatan tidak lagi dipandang sebagai pengeluaran, melainkan sebagai investasi sosial jangka panjang. Dan investasi ini tidak bisa dihitung hanya dalam neraca keuangan, tetapi dalam kualitas hidup, angka harapan hidup, dan tingkat kepercayaan publik terhadap negara.
Oleh karena itu, sinergi antara rumah sakit, BPJS Kesehatan, dan pemerintah perlu dibangun di atas prinsip transparansi, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat.
Saat rumah sakit sudah siap, masyarakat membutuhkan, dan pelayanan bisa diberikan, maka sistem seharusnya tidak menjadi penghambat. Justru di situlah semestinya BPJS Kesehatan sebagai representasi kehadiran negara benar-benar hadir, membuka jalan, dan bukan membatasi langkah. Wallahua'lam
Post a Comment for "Benarkah Kebijakan Fiskal BPJS Kesehatan Menyandera Pelayanan Pasien di Rumah Sakit?"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.