
Di tengah hiruk pikuk birokrasi daerah, pengunduran diri seorang kepala dinas sering kali dianggap sekadar pergantian pejabat. Namun, apa yang terjadi di Kabupaten Cianjur belakangan ini menyimpan pesan yang jauh lebih dalam. Ketika dr. Yusman Faisal menyatakan tidak mampu menjalankan tugas sebagai Kepala Dinas Kesehatan dan memilih mengundurkan diri, maka sejatinya dirinya tidak hanya meninggalkan jabatan, tetapi sekaligus juga membuka tabir tentang beban struktural, tekanan sistemik, dan kerentanan manajemen pelayanan publik di tingkat daerah.
Artikel ini sengaja saya buat untuk menjadi bahan refleksi kolektif, bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi untuk menukik pada substansi yang lebih dalam mengapa seorang pejabat dengan rekam jejak profesional harus mundur di tengah sistem yang seharusnya menopangnya. Tidak berhenti sampai di situ, dinamika makin menarik ketika pengganti sementara justru diambil dari luar struktur utama Dinas Kesehatan, dalam hal ini seorang Kepala Puskesmas yang ditunjuk langsung sebagai Plt Kepala Dinas. Sebuah keputusan yang mengundang tanya, sekaligus membuka ruang diskusi dan sekaligus introspeksi.
Melalui artikel ini, mohon izin saya ingin mengajak kita berpikir ulang: apakah birokrasi kesehatan kita benar-benar sehat? Apakah sistem mendukung orang-orang baik di dalamnya untuk bertahan, atau justru menyingkirkan mereka secara perlahan? Selamat membaca, semoga tulisan ini menjadi lentera kecil bagi perubahan besar.
Pengunduran diri dr. Yusman Faisal dari jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur bukanlah peristiwa biasa. Pengunduran diri tersebut merupakan isyarat keras bahwa ada sesuatu yang tidak beres di balik wajah formal birokrasi kesehatan daerah. Dalam surat resminya, dr. Yusman menyebutkan ketidakmampuannya menjalankan tugas sebagai alasan utama. Namun, benarkah ini sekadar soal ketidakmampuan individu, atau justru mengungkap lapisan yang lebih dalam tentang tata kelola dan dinamika politik-birokrasi?
Jika ditelaah lebih lanjut, dr. Yusman bukan satu-satunya yang memilih mundur. Dua direktur RSUD di Cianjur juga mengundurkan diri dalam rentang waktu berdekatan. Artinya, fenomena ini menandakan adanya pola, bukan insiden tunggal. Maka, sebagai masyarakat yang mendambakan pelayanan publik yang bersih dan efektif, kita perlu berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: apa yang sebenarnya terjadi di Cianjur?
Dalam sistem birokrasi yang ideal, seorang kepala dinas bukan hanya simbol kepemimpinan administratif, tapi juga penggerak utama kebijakan, inovasi layanan, dan pembina SDM kesehatan. Jika seorang pejabat tinggi justru merasa tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka masalah yang dihadapi bukan hanya personal, melainkan juga struktural.
Apakah sistem mendukung kinerjanya? Apakah ia mendapat kewenangan penuh dan dukungan anggaran memadai? Ataukah justru ia tersandera oleh politik, intrik internal, atau beban administratif yang terlalu berat?
Ketika seorang pejabat memilih mundur secara sukarela—sesuatu yang jarang terjadi dalam kultur birokrasi Indonesia—kita mesti memandangnya sebagai bentuk tanggung jawab moral. Ada kejujuran di balik pengakuan itu. Namun, kejujuran ini jangan sampai dibiarkan menguap begitu saja.
Mundurnya dr. Yusman sejatinya adalah cermin yang memantulkan wajah sistem birokrasi yang penuh beban, namun miskin dukungan. Jabatan kepala dinas bukanlah sekadar kursi empuk, tetapi juga medan yang sarat tekanan, baik dari atas, dari samping, maupun dari bawah.
Jika beban kerja tidak diimbangi dengan dukungan SDM dan sistem yang memadai, maka pejabat mana pun akan kesulitan. Lebih-lebih bila dinamika politik di sekitar eksekutif daerah membuat kepala dinas seperti berjalan di atas tali.
Di sisi lain, pengunduran diri ini menyingkap betapa pentingnya menjaga integritas dalam pelayanan publik. Daripada bertahan dengan risiko membuat keputusan keliru atau sekadar menjadi stempel atas kebijakan yang tidak diyakini, dr. Yusman memilih kembali ke posisi fungsional sebagai dokter. Dalam konteks ini, keputusan pengunduran dirinya layak diapresiasi. Sikap itu menunjukkan bahwa profesi dokter bukan hanya panggilan teknis, tetapi juga etis. Ketika jabatan struktural tidak lagi dapat menopang idealisme, maka kembali melayani langsung masyarakat adalah pilihan bermartabat.
Namun demikian, dalam skala makro, kita tidak boleh berhenti pada apresiasi personal. Pemerintah Kabupaten Cianjur mesti menjadikan peristiwa ini sebagai titik balik untuk membenahi sistem. Jika tidak, maka mundurnya satu kepala dinas akan diikuti oleh mundurnya semangat di seluruh jajaran birokrasi.
Evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola Dinas Kesehatan mutlak diperlukan. Ini mencakup distribusi beban kerja, kejelasan alur koordinasi, manajemen konflik internal, hingga transparansi dalam perencanaan anggaran dan pelaksanaan program.
Selain itu, relasi antara kepala daerah dan kepala dinas harus dibangun di atas asas profesionalisme. Kepala dinas bukan pelaksana kehendak pribadi, melainkan pemimpin teknokratis yang bertugas menjaga arah kebijakan sesuai kebutuhan masyarakat.
Jika kepala dinas tidak merasa diberi ruang untuk berpikir, berinisiatif, dan mengambil keputusan berdasarkan data dan keahlian, maka jabatan itu hanya menjadi formalitas. Dan formalitas yang kosong adalah awal dari kehancuran tata kelola.
Refleksi juga harus menyentuh aspek pelatihan dan pengembangan SDM. Banyak kepala dinas merasa berat karena minimnya pelatihan dalam hal manajemen publik, birokrasi digital, atau pengelolaan anggaran yang kompleks. Reformasi birokrasi tanpa peningkatan kapasitas adalah ilusi.
Kita pun harus berani membahas soal tekanan politik. Tak sedikit pejabat struktural daerah yang harus "bernegosiasi" dengan kekuatan-kekuatan non-teknis. Jika pengambilan keputusan terlalu dikendalikan oleh faktor politik, maka profesionalisme akan mengalami marginalisasi alias terpinggirkan.
Perlu ada pembentukan sistem whistleblower atau forum internal yang memungkinkan pejabat mengemukakan kendala tanpa takut dikucilkan. Ini penting agar masalah tidak menumpuk dan akhirnya memicu pengunduran diri seperti yang terjadi saat ini.
Yang tak kalah penting adalah partisipasi publik. Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan dan evaluasi kinerja dinas kesehatan. Transparansi bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga hak warga.
Media juga memainkan peran besar dalam mengangkat isu ini secara berimbang. Alih-alih membingkai pengunduran diri sebagai kelemahan personal, media seharusnya mengangkat dimensi struktural dan menjadi ruang advokasi bagi pembenahan layanan publik.
Kita selalu belajar bahwa jabatan bukan tujuan, melainkan amanah. Dan terkadang, melepaskan jabatan adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab.
Satu hal unik yang juga tak kalah menarik perhatian dalam peristiwa pengunduran diri Kadinkes Cianjur adalah penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan justru berasal dari kalangan kepala UPTD Puskesmas. Ini bukan praktik yang lazim.
Dalam hirarki birokrasi, seharusnya ada jalur struktural yang lebih dahulu dipertimbangkan, seperti Sekretaris Dinas, Kepala Bidang, atau Kepala Seksi (alias Ketua Tim Kerja). Ketika jalur ini dilewati, kita patut mempertanyakan integritas sistem pembinaan karier ASN di internal dinas.
Pertanyaannya bukan soal kemampuan personal pejabat UPTD yang ditunjuk, bukan! Sama sekali bukan itu! Pertanyaannya adalah lebih kepada mengapa jenjang struktural di atasnya tidak diberdayakan.
Apakah tidak ada yang bersedia? Atau justru mereka dianggap bagian dari masalah yang ingin dibersihkan? Ataukah ada ketegangan internal yang menyebabkan bupati lebih memilih orang di luar struktur?
Jika penunjukan ini dilakukan semata untuk alasan kedekatan, kehati-hatian politik, atau loyalitas pribadi, maka risiko yang muncul bisa sangat besar.
Seseorang yang berasal dari luar struktur dinas bisa mengalami kesulitan membangun otoritas di antara pejabat-pejabat yang secara struktural lebih tinggi darinya.
Plt dari luar struktur bisa juga menghadapi beban kerja tambahan yang tidak ringan. Ia harus memimpin organisasi yang tidak dikenalnya secara menyeluruh.
Di sisi lain, jika memang orang tersebut memiliki rekam jejak yang baik dalam pelayanan dan kepemimpinan, maka ini bisa menjadi momentum pembuktian.
Namun tetap saja, penunjukan ini harus dibarengi dengan penjelasan publik dan dukungan sistemik agar tidak merusak tatanan dan moralitas struktural yang ada.
Fenomena ini menunjukkan ada persoalan mendalam dalam struktur dinas, baik soal pembinaan karier, kepercayaan pimpinan, maupun koordinasi internal.
Pemerintah daerah harus segera melakukan audit internal dan memperbaiki sistem manajemen SDM-nya. Jangan sampai ASN struktural merasa tidak ada keadilan dalam mekanisme jenjang karir.
Karena jika hal ini dibiarkan, maka yang terjadi adalah demoralisasi, konflik internal, dan rendahnya kinerja pelayanan publik.
Kejadian di Cianjur harus dijadikan pelajaran bagi seluruh daerah. Reformasi birokrasi bukan hanya soal digitalisasi dan efisiensi, tapi juga soal keadilan, kepercayaan, dan pembinaan karier yang sehat.
Plt saat ini perlu mendapat dukungan bukan hanya administratif, tetapi juga psikososial, termasuk tim pendamping dari pejabat senior untuk memastikan transisi berjalan mulus.
Lebih dari itu, peristiwa ini menunjukkan bahwa kekuatan organisasi bukan hanya terletak pada siapa yang memimpin, tetapi pada sistem yang menopang kepemimpinan tersebut.
Semoga pengunduran diri Kadinkes Cianjur dan penunjukan Plt yang tidak lumrah tersebut menjadi awal dari reformasi yang lebih dalam, agar pelayanan kesehatan di Cianjur tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang. Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan sejatinya bukan jabatan, melainkan nasib kesehatan masyarakat. Wallahua'lam
Post a Comment for "Refleksi Sistemik di Balik Pengunduran Diri Kepala Dinas Kesehatan Cianjur"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.