![]() |
| Ridwan Kamil dan Ibu Atalia Praratya (Sumber: Law-Justice) |
Ada peristiwa-peristiwa tertentu yang datang tidak untuk untuk kita komentari, melainkan untuk kita renungi. Kabar tentang rumah tangga Ridwan Kamil dan Ibu Atalia Praratya adalah salah satunya. Kabar itu hadir bukan sekadar sebagai berita, tetapi sebagai pengingat halus bahwa di balik sorotan, manusia tetaplah manusia.
Saya mencoba menahan diri untuk tidak ikut larut dalam riuhnya opini. Sebab semakin dipikirkan, kisah itu justru lebih banyak berbicara tentang diri kita sendiri: tentang bagaimana kita memaknai keluarga, kesetiaan, ujian, dan cara Allah menata takdir dengan cara yang sering kali tidak kita pahami.
Rumah tangga tidak pernah dibangun hanya dengan niat baik. Rumah tangga dibangun oleh kesabaran yang diuji setiap hari, oleh luka yang sering tak sempat dijelaskan, dan oleh doa-doa yang kadang terasa tak segera dijawab. Bahkan pada keluarga yang tampak kuat, retak bisa hadir perlahan, tanpa suara, tanpa tanda yang mudah dibaca orang luar.
Di titik itu kita belajar satu hal penting: bahwa keberhasilan di mata manusia tidak selalu sejalan dengan ketenangan di hadapan Tuhan. Dan bahwa ujian paling berat sering kali datang bukan untuk meruntuhkan, melainkan untuk meluruskan kembali arah hati.
Perceraian, betapapun pahitnya, bukan selalu tanda kegagalan iman. Ia bisa menjadi jalan terakhir agar dua jiwa tidak saling melukai lebih jauh. Dalam perspektif spiritual, berpisah dengan adab, menjaga lisan, dan menutup aib satu sama lain adalah bentuk ibadah yang sering luput kita sadari.
Saya juga belajar tentang diri saya sebagai bagian dari publik. Betapa mudahnya jari ini mengetik komentar, betapa ringannya hati ikut menilai. Padahal Allah menutup aib kita setiap hari—sementara kita begitu cepat membuka aib orang lain, dengan dalih kepedulian atau rasa ingin tahu.
Mungkin yang lebih dibutuhkan bukan opini, melainkan doa. Doa agar Allah menenangkan hati-hati yang sedang diuji. Doa agar anak-anak yang terdampak tetap tumbuh dalam cinta. Dan doa agar kita sendiri dijauhkan dari kesombongan merasa lebih baik dari orang lain.
Setiap kisah orang lain sesungguhnya adalah cermin. Dan dari cermin itu saya bertanya pada diri sendiri: Apakah aku sudah cukup sabar pada orang yang kucintai? Apakah aku lebih sibuk menjaga citra, atau menjaga amanah? Apakah aku masih memohon hidayah dalam rumah tangga, atau merasa cukup dengan reputasi?
Pada akhirnya, hidup bukan tentang terlihat utuh di mata manusia, tetapi tentang terus berusaha lurus di hadapan Allah. Jika ada yang runtuh, semoga itu bukan iman. Jika ada yang berpisah, semoga adab tetap terjaga. Dan jika ada pelajaran hari ini, semoga ia membuat kita lebih rendah hati, lebih lembut, dan lebih rajin berdoa—terutama untuk diri sendiri. Baarokallahu fiikum.

Post a Comment for "Cermin Diri Di Balik Perceraian Ridwan Kamil dan Ibu Atalia Praratya"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.