Tanah Suci bukan sekadar tempat ibadah, melainkan ruang spiritual yang menuntut kesadaran penuh. Setiap langkah di Mekkah dan Madinah bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Di sana, setiap gerak tubuh dan ucapan memiliki makna. Menjaga diri berarti menjaga adab; dan menjaga adab berarti menjaga kehormatan, baik sebagai tamu Allah maupun sebagai manusia yang tunduk pada aturan-Nya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Arab Saudi mempertegas penerapan aturan kesopanan publik (public decency law) yang berlaku bagi seluruh penduduk dan pendatang, termasuk jemaah haji dan umrah. Aturan ini tidak hanya menyentuh hal-hal besar seperti perizinan haji, tetapi juga perilaku sosial sehari-hari, seperti cara berpakaian, berbicara, hingga penggunaan musik di tempat umum.
Salah satu bentuk penegakan yang cukup banyak dibicarakan adalah denda bagi siapa pun yang memutar musik pada waktu salat. Di Tanah Suci, saat azan berkumandang, semua aktivitas duniawi seharusnya berhenti. Kumandang azan itu bukan hanya penanda waktu, tetapi panggilan untuk sujud di hadapan Tuhan. Maka, memutar musik saat azan atau ketika salat berlangsung dipandang sebagai bentuk ketidakpantasan. Pelanggaran pertama dapat dikenai denda 1.000 Riyal (sekitar Rp 4,5 juta), dan jika terulang, dendanya naik menjadi 2.000 Riyal (sekitar Rp 9 juta).
Bagi sebagian orang, angka itu mungkin terasa berat. Namun sejatinya, denda di Tanah Suci bukan sekadar hukuman, melainkan pengingat, bahwa menjaga suasana khusyuk adalah tanggung jawab bersama. Di tempat di mana jutaan orang beribadah, keteraturan dan ketenangan menjadi bagian dari ibadah itu sendiri. Suara yang terlalu keras, sikap tergesa, atau tawa yang berlebihan bisa saja mengganggu kekhusyukan orang lain. Maka, aturan dan denda hadir sebagai pagar agar kesucian suasana tetap terjaga.
Adab di Tanah Suci bukan hanya urusan pribadi antara hamba dan Tuhannya. Ia juga mencerminkan sikap sosial dan kepatuhan terhadap sistem. Ketika seseorang belajar menahan diri — tidak berkata sembarangan, tidak berdesak tanpa sabar, tidak memotret secara berlebihan — ia sedang menumbuhkan akhlak yang menjadi inti dari ibadah itu sendiri. Dalam konteks itu, adab menjadi jembatan antara disiplin hukum dan kehormatan spiritual.
Menjaga diri di Tanah Suci juga berarti memahami bahwa kehormatan seseorang diukur bukan dari banyaknya ibadah yang dilakukan, tetapi dari bagaimana ia menghormati tempat di mana ia beribadah. Denda hanyalah bentuk lahiriah dari sebuah pesan batin, bahwa setiap pelanggaran adab adalah pelanggaran terhadap kehormatan diri sendiri.
Bagi jemaah asal Indonesia, yang dikenal lembut dan santun, aturan ini sejalan dengan nilai-nilai yang telah diajarkan sejak kecil — menghormati orang lain, menundukkan suara di tempat ibadah, dan menghindari sikap yang berlebihan. Namun di Tanah Suci, semua itu menjadi lebih penting, karena setiap perilaku ikut merepresentasikan kualitas penghormatan terhadap Ka‘bah, Masjid Nabawi, dan ribuan wajah yang sedang khusyuk berdoa.
Denda di Tanah Suci sejatinya bukan tentang uang, tetapi tentang bagaimana manusia belajar untuk menundukkan ego dan menegakkan kehormatan. Ketika adab dijaga, kedamaian akan lahir. Ketika kehormatan ditegakkan, ibadah pun menjadi bermakna.
Last but not least, menjaga diri berarti menjaga kesucian hati, menjaga lidah, menjaga pandangan, dan menjaga ketenangan suasana. Dan di Tanah Suci, dan bahkan di bumi manapun, hakikatnya itulah bentuk dzikir yang paling halus: dzikir tanpa suara, namun menggema di seluruh penjuru langit. Baarokallahu fiikum.
Post a Comment for "Menjaga Diri di Tanah Suci: Antara Adab, Denda, dan Nilai Kehormatan"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.