Popularitas dalam ruang publik Indonesia kerap menjadi barometer kedekatan antara pemimpin dan masyarakat. Namun, tidak semua popularitas lahir dari sumber yang sama. Dua figur yang menarik untuk dibandingkan dalam konteks ini adalah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Keduanya sama-sama dikenal publik secara luas, namun dengan cara yang sangat berbeda. Satu menanjak karena kredibilitas dan ketenangan berpikir, sementara yang lain memikat karena sentuhan kemanusiaan dan kedekatan emosionalnya dengan rakyat kecil.
Fenomena di atas memperlihatkan dua wajah dari dinamika kepemimpinan di Indonesia, yakni wajah rasional-teknokratis, dan wajah emosional-populis. Menteri Purbaya menampilkan diri sebagai figur teknokrat dengan reputasi kuat di bidang ekonomi dan kebijakan publik. Mantan Kepala LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) itu jarang muncul dengan retorika politik, tetapi lebih sering hadir dengan argumentasi berbasis data dan analisis empiris.
Sementara itu, Dedi Mulyadi menapaki jalannya sendiri dengan narasi yang berbeda. Dirinya hadir sebagai sosok yang membumikan nilai-nilai budaya, menghidupkan simbol-simbol lokal, dan memancarkan daya tarik spiritualitas sosial.
Kedua jalur itu sejatinya sama-sama sahih dalam demokrasi modern. Namun perbedaan keduanya memperlihatkan betapa beragamnya sumber legitimasi sosial seorang pemimpin di mata rakyat. Popularitas Purbaya berakar pada kepercayaan terhadap kompetensi, yang diapresiasi karena kemampuannya membaca situasi ekonomi global, menjaga keseimbangan kebijakan fiskal, serta memberikan pandangan yang jernih di tengah kebisingan opini publik.
Di sisi lain, popularitas Kang Dedi Mulyadi, lahir dari kedekatan emosional dan simbolik. KDM tidak bicara dengan grafik dan angka, melainkan dengan kisah, gestur, dan tindakan nyata di lapangan yang langsung menyentuh perasaan masyarakat.
Dalam konteks sosiologis, Purbaya mewakili apa yang disebut “popularitas epistemik” alias popularitas yang dibangun atas dasar pengetahuan dan keahlian. Sedangkan Dedi Mulyadi menampilkan “popularitas afektif” yakni popularitas yang bersumber dari kemampuan menyentuh emosi dan nilai kemanusiaan publik.
Perbedaan itu berdampak langsung terhadap basis sosial yang mereka bangun. Purbaya lebih banyak dikagumi oleh kalangan terdidik, ekonom, akademisi, dan para analis kebijakan. Pengikutnya tidak fanatik, tetapi loyal karena alasan rasional. Sementara, basis sosial Dedi Mulyadi lebih menyebar di lapisan masyarakat akar rumput. Ia dicintai oleh petani, pedagang kecil, buruh, dan kaum marjinal yang merasakan kehadirannya secara langsung. Dengan kata lain, struktur sosial dari popularitas mereka berbeda. Yang satu tumbuh dari ruang kebijakan, yang lain tumbuh dari ruang kebudayaan.
Mulai Beririsan
Dalam dunia digital, kedua jenis popularitas ini mulai beririsan. Menteri Purbaya mendapatkan perhatian publik ketika pernyataannya viral di media sosial karena dianggap mewakili suara rasionalitas di tengah kepanikan ekonomi global. Dedi Mulyadi, di sisi lain, menjadikan media sosial sebagai panggung utama. Ia mengubah tindakan kecil menjadi pesan moral yang menginspirasi jutaan orang.
Dari situ tampak bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan dua hal sekaligus: kejelasan berpikir dan kehangatan rasa. Popularitas Purbaya menunjukkan kerinduan masyarakat pada pemimpin yang dapat memberikan arah kebijakan yang pasti dan logis. Sementara popularitas Dedi Mulyadi menunjukkan kebutuhan rakyat akan pemimpin yang mengerti penderitaan mereka dan memberi makna pada keseharian yang sederhana.
Dalam konteks di atas, keduanya menjadi representasi dari dua dimensi kepemimpinan yang saling melengkapi. Jika kepemimpinan Purbaya adalah kepemimpinan dari kepala, maka kepemimpinan Dedi Mulyadi adalah kepemimpinan dari hati. Yang satu menata sistem, yang lain menata rasa.
Fenomena sosial itu memperlihatkan dinamika yang menarik antara modernitas dan tradisi. Purbaya berdiri di sisi modernitas rasional, sementara Dedi Mulyadi menegaskan pentingnya menjaga akar tradisi dan kearifan lokal dalam proses bernegara. Keduanya sama-sama lahir dari ruang publik yang sama, tetapi memancarkan daya yang berbeda.
Di sisi lain, cara publik merespons keduanya juga berbeda. Purbaya sering dipuji karena kecerdasannya, tetapi jarang dianggap “menghibur.” Dedi Mulyadi sebaliknya, kerap disebut “menghibur” sekaligus “menyentuh,” meskipun kadang dianggap terlalu teatrikal. Persepsi ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih menilai pemimpin bukan hanya dari hasil kerja, tetapi juga dari pengalaman emosional yang diberikan kepada rakyat.
Dalam ranah politik elektoral, popularitas Dedi Mulyadi lebih mudah dikapitalisasi karena ia bersentuhan langsung dengan massa. Sementara popularitas Purbaya lebih efektif dalam konteks kebijakan, bukan dalam mobilisasi politik jangka pendek. Keduanya memiliki kekuatan simbolik yang signifikan: satu mewakili kepercayaan, satu mewakili harapan.
Purbaya dipercaya karena ketenangan dan konsistensinya dalam berpikir, sementara Dedi Mulyadi diharapkan karena kemampuannya menumbuhkan optimisme rakyat kecil. Dengan cara masing-masing, keduanya memperkaya imajinasi publik tentang seperti apa seharusnya seorang pemimpin Indonesia: berakal sehat sekaligus berhati baik.
Makna Sosial Popularitas
Jika dicermati lebih dalam, makna sosial dari popularitas mereka adalah refleksi dari ketegangan dalam masyarakat Indonesia sendiri; antara rasionalitas kebijakan dan kebutuhan akan kedekatan emosional. Masyarakat yang semakin kompleks menuntut pemimpin yang memahami data, namun juga memahami derita. Itulah sebabnya keduanya sama-sama relevan, meski berjalan di jalur yang berbeda.
Dari sudut pandang komunikasi politik, Dedi Mulyadi memainkan peran cultural broker, penghubung antara modernitas dan nilai lokal. Sedangkan Purbaya berperan sebagai knowledge broker, penghubung antara sains, ekonomi, dan kebijakan publik. Keduanya membentuk dua poros pengaruh sosial yang berbeda namun saling mengisi ruang yang sama: ruang kepercayaan publik.
Dalam terminologi Max Weber, Purbaya mendekati tipe kepemimpinan rasional-legal, sedangkan Dedi Mulyadi mendekati karismatik-tradisional. Keduanya tidak bertentangan, tetapi menegaskan pluralitas jalan menuju legitimasi sosial. Bila popularitas Purbaya mengajarkan pentingnya kredibilitas, popularitas Dedi Mulyadi mengajarkan pentingnya kepekaan. Dan keduanya bersama-sama menunjukkan bahwa kepemimpinan tanpa keduanya akan kehilangan arah.
Dalam perspektif makro, fenomena di atas sesungguhnya memperlihatkan evolusi demokrasi kita. Bahwa masyarakat kini tidak lagi puas dengan figur teknokrat semata, namun juga tidak cukup dengan figur populis saja. Artinya, kita sedang belajar untuk menggabungkan otak kebijakan dan hati kemanusiaan dalam menilai figur publik.
Karena itu, kehadiran Purbaya dan Dedi Mulyadi seolah mengajarkan dua sisi mata uang yang sama: satu menjaga arah, satu menjaga jiwa. Keduanya mengingatkan kita bahwa pembangunan nasional bukan hanya urusan angka, tetapi juga urusan rasa; bukan hanya strategi, tetapi juga empati. Dan dalam hal ini, Indonesia membutuhkan keduanya, agar tetap berpikir jernih tanpa kehilangan nurani, dan tetap berhati hangat tanpa kehilangan rasionalitas.
Dari perspektif sosiologi politik, popularitas Menteri Purbaya dan Gubernur Dedi Mulyadi merepresentasikan dua bentuk legitimasi sosial yang saling melengkapi: legitimasi rasional dan legitimasi afektif. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberhasilan kepemimpinan dalam konteks Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keseimbangan antara kapasitas teknokratis dan kemampuan membangun kedekatan emosional dengan rakyat. Keduanya adalah cermin dari dua kebutuhan dasar masyarakat modern, yaitu keamanan kebijakan dan kehangatan kemanusiaan.
Dalam masyarakat yang terus berubah, keseimbangan antara keduanya bukan sekadar keindahan konseptual, tetapi sekaligus juga menjadi syarat keberlanjutan sosial dan stabilitas politik. Baarokallahu fiikum.
Post a Comment for "Antara Efek Purbaya dan Pesona Dedi Mulyadi: Sebuah Komparasi Popularitas"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.