Ketika Teori Tendensius Terorisme Terjungkal Balik

Sumber Foto/Gambar: BaitulMuhsinin.com

Saya hampir berteriak sekeras-kerasnya usai membaca analisis Harits Abu Ulya, Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) tentang kasus Bom di Mal Alam Sutera, baru-baru ini. Seperti di kutip Republika (30/10/2015), Harits mengingatkan kita semua bahwa selama ini konstruksi teori terorisme di desain secara monolitik ke arah yang tendensius stigmatis pada ranah idiologis muslim. Kecurigaan yang berlapis-lapis seringkali tertuju pada orang-orang muslim yang taat menjalankan agamanya, dan bahkan lebih sinis lagi tertuju pada muslim yang berjenggot, berjidat hitam, bercelana cingkrang, istri bercadar, kerap mengagungkan kalimat tauhid Laailaha Illallah. Karakteristik seperti inilah yang selama ini dibangun dan secara stereotip membingkai cara pikir oknum pemerintah, aparat, sebagian besar media, dan juga publik. Sampai-sampai, figur kharismatik legendaris sekaliber KH. Hasyim Asy’ari yang notabene berjenggot itu dicitrakan dalam sebuah foto/lukisan manipulatif belum lama ini sebagai tokoh yang tak berjenggot. Aneh memang, tapi inilah fakta yang ada. Betapa kuatnya pengaruh teori tendensius terorisme selama ini, hatta jenggotpun harus dihilangkan agar tidak ingin dituduh sebagai kekuatan-kekuatan potensial teroris.

Kasus Bom di Mal Alam Sutera Serpong, sungguh seperti menghentakkan kesadaran kita yang sempat terbius oleh teori tendensius terorisme selama ini. Tersangka pelakunya jauh dari stigma stereotip yang dikonstruksikan secara sistematis itu. Tersangka pelakunya adalah seorang penganut Katolik beretnis Tionghoa. Sehelai jenggotpun tak ada di dagunya, jidatnya juga mulus, celananya bukan model cingkrang, istri atau keluarganya tidak bercadar (kecuali kalau setelah kejadian langsung bercadar), kalimat tauhid bolehjadi dia tidak mengenalnya sama sekali. Fakta aktual inilah yang ingin saya teriakkan sekeras-kerasnya: Hey, mana itu teori tendensius terorisme selama ini....mana itu provokator-provokator penggagas di balik teori stereotip stigmatis itu...?

Terkait fakta di atas, sederhana saja sebenarnya yang ingin saya ungkapkan di Blog pribadi saya ini. Hentikan segala upaya pendistorsian agama. Agama apapun. Terorisme adalah kejahatan yang tidak diperintahkan oleh agama manapun. Kalaulah ternyata pelakunya adalah pemeluk agama tertentu, saya kira itu adalah murni faktor koinsidental saja. Semua teori terorisme yang dikonstruksikan secara stereotip stigmatis pada agama tertentu sudah waktunya dilemparkan ke dalam keranjang sampah sejarah. Teori-teori tendensius terorisme itu sejatinya adalah ideologi terorisme yang sesungguhnya, karena tanpa banyak disadari ia telah tampil menjadi teror psikologis bagi simpul-simpul kekuatan toleransi kita dalam beragama.

Sebagai muslim, saya sangat bangga dengan Islam. Dan sampai mati saya akan tetap dalam keyakinan ini. Tetapi di saat yang sama, saya berupaya mati-matian juga untuk tidak mengusik penganut agama lain. Saya rindu, rindu serindu-rindunya, keragaman dalam beragama di dunia ini hidup berdampingan secara damai, tanpa dinodai oleh sentimen apapun. Cukuplah Allah saja yang menjadi Hakim Paling Adil bagi seluruh keyakinan yang ada.

Maka, ketika teori tendensius terorisme terjungkal balik oleh fakta aktual yang ada, semestinya ini menjadi momentum paling berharga bagi seluruh komponen bangsa ini untuk berpikir ulang, menata hati, menata pikiran, membersihkan noda-noda sentimen apapun yang berpotensi merusak sendi-sendi kekuatan kolektif kita sebagai bangsa besar yang penuh dengan keragaman: etnis, suku, agama, keyakinan.

Di mata saya, ada tanda-tanda yang semakin kuat bahwa Islam akan segera tampil menjadi pemimpin dunia. Ekonomi dunia berbasis kapitalis semakin memperlihatkan kelemahannya dan bahkan potensi kehancurannya, dan perlahan namun pasti tergantikan oleh ekonomi berbasis syariah. Prototip pemerintahan ala Rasul di Madinah Al-Munawwarah tempo dulu, semakin dirindukan oleh kaum muslimin di seantero dunia. Dan, sejarah menujukkan secara terang benderang, Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW, adalah kota yang cukup heterogen secara etnis maupun agama atau keyakinan. Tetapi kedamaian memancar ke mana-mana. So, tak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?

Michael H. Hart, dalam bukunya yang berjudul The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah), menempatkan Baginda Muhammad Rasulullah SAW dalam urutan pertama paling berpengaruh. Ini fakta sejarah yang sebenarnya, sejujurnya dan sepatutnya. Ala kulli hal, jika terorisme dikaitkan dengan agama tertentu, apalagi Islam, itu benar-benar sesuatu yang ahistoris, sekaligus stigmatis dan bahkan sadis. Wallahua'lam.(Pastikan sudah membaca artikel saya yang ini ya: Aku Rindu Padamu Ya Rasul, Tapi Aku Masih Banyak Dosa).

Post a Comment for "Ketika Teori Tendensius Terorisme Terjungkal Balik"