3 Langkah Strategis Perbaikan Tata Kelola BPJS Kesehatan


Sebagian kecil dari komunitas Keluarga Besar Dinas Kesehatan Kab. Karawang dalam Acara Capacity Building di Lembang, Bandung, 27-28 Nopember 2015. (Foto di atas tidak lepas dari kebaikan Mas Iksan dan kawan-kawan, Bagian Perencanaan Dinkes Karawang)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam kurun waktu dua tahun pertama penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional menghadapi berbagai tantangan, baik yang bersifat interen maupun eksteren. Dalam tataran interen, aspek sumberdaya BPJS Kesehatan, terutama sumber daya manusia, memperlihatkan fakta perlunya peningkatan secara signifikan, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Sementara itu, dalam tataran eksteren, pola relasi hubungan kerja BPJS Kesehatan dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) masih membutuhkan optimalisasi, bahkan revitalisasi, agar terbangun kekuatan sinergitas yang kuat sebagaimana yang diharapkan.

Tantangan di atas akan menjadi pintu emas perbaikan BPJS Kesehatan manakala dihadapi dengan optimisme yang tinggi serta komitmen yang kuat untuk melakukan penyempurnaan atau pembenahan tata kelola Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional ini. Dalam konteks ini, paling tidak ada 3 isu strategis yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, aspek relationship dengan berbagai mitra badan/lembaga. Kedua, optimalisasi/revitalisasi pemasaran sosial dalam rangka meningkatkan kepesertaan mandiri. Ketiga, urgensi perubahan management style dari pola BUMN menjadi tipologi badan yang lebih akomodatif terhadap berbagai tuntutan fleksibilitas maupun portabilitas utilisasi pelayanan.

Tulisan ini akan mengeksplorasi lebih lanjut 3 (tiga) isu strategis di atas dalam rangka perbaikan, pembenahan, atau penyempurnaan tata kelola BPJS Kesehatan, kini dan yang akan datang. Langkah-langkah strategis yang akan dirumuskan dalam tulisan ini tidak terlepas kaitan tematiknya dengan harapan publik terhadap pengejawantahan universal coverage jaminan kesehatan yang berkualitas.

Membangun Sinergitas Relationship
Pola hubungan kerja atau relationship antara BPJS Kesehatan dengan seluruh stakeholder terkait dengan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional selama ini masih terkesan asimetris sehingga relatif sulit untuk menghasilkan sinergitas kerja yang diharapkan. Dalam kaitan ini, pola ralationship yang berbasis kemitraan adalah menjadi pilihan yang paling relevan untuk dibangun. Seluruh stakeholder terkait, baik di tataran regulator maupun di tataran provider seyogyanya diposisikan sebagai mitra kerja yang saling membutuhkan (interdependency). Di antara seluruh jaringan mitra, tidak ada yang harus dipandang dominan lebih penting dari yang lain, melainkan semua berada dalam posisi kesetaraan kepentingan.

Pola relationship berbasis kemitraan ini membutuhkan keterbukaan di antara seluruh pihak terkait. Pola relationship berbasis kemitraan sebagaimana dimaksud di atas dapat ditumbuhkan lebih mudah melalui jalinan komunikasi yang intensif antara seluruh stakeholder, tentu saja melalui fasilitasi BPJS Kesehatan. Jalinan komunikasi yang intensif tersebut harus diperluas maknanya sehingga mencakup semua bentuk komunikasi, baik yang bersifat formal maupun informal. Komunikasi formalistik dapat diupayakan lebih sering melalui pertemuan-pertemuan koordinasi, sosialisasi maupun sinkronisasi antara berbagai elemen mitra.

Di luar itu, komunikasi nonformalistik yang tidak kalah efektivitasnya dalam membangun sinergitas relationship bisa berupa kehadiran, keterlibatan dan atau keberpihakan BPJS Kesehatan dalam sejumlah momen-momen massa atau sosial yang ada di masyarakat. Kegiatan-kegiatan senam rutin mingguan dengan tingkat partisipasi massa yang cukup besar, sebagaimana yang telah menjadi tradisi di banyak daerah, dapat menjadi ajang komunikasi nonformalistik yang efektif bagi BPJS Kesehatan dengan para mitra terkait.

Di level regulator, pola relationship yang setara menjadi kebutuhan utama agar produk-produk regulasi yang dihasilkan benar-benar seiring sejalan. Melalui pola relationship yang setara antara BPJS Kesehatan dengan Kementerian Kesehatan misalnya, peluang-peluang benturan regulasi bisa di minimalisasi. Fakta tentang implementasi Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Norma Penetapan Besaran Kapitasi dan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP yang langsung menuai protes keras dari segenap elemen terkait, patut menjadi pelajaran berharga dalam kaitan membangun sinergitas relationship ini.

Hal lain yang mengindikasikan benturan regulasi terlihat dalam salah satu klausul pada Permenkes 28/2014 vis a vis Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2015. Dalam Permenkes 28/2014 (BAB III, Peserta dan Kepesertaan, Poin 4) proses aktivasi kepesertaan bayi dalam BPJS Kesehatan masih dimungkinkan dalam waktu 3x24 jam kerja. Sementara, dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2015, Pasal 8 Ayat (6), secara tegas menyebutkan masa aktivasi kepesertaan minimal 14 hari kerja.

Dengan membangun sinergitas relationship berbasis kemitraan, tata kelola BPJS Kesehatan dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional akan lebih efektif, efisien, dan tentu saja minim problematika.

Optimalisasi/Revitalisasi Pemasaran Sosial BPJS Kesehatan
Sebagai asuransi sosial, ekspansi kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan dapat dilakukan melalui penerapan teknik pemasaran secara indirect, disamping pemasaran-pemasaran direct yang sudah dilakukan. Pemasaran indirect bertumpu pada upaya-upaya perbaikan kualitas pelayanan, tak terkecuali pelayanan administratif, bagi para peserta BPJS Kesehatan. Persepsi mutu atau kualitas yang lebih baik pada para peserta BPJS Kesehatan akan berefek konstruktif dan produktif pada peningkatan jumlah atau volume kepesertaan, mengingat para peserta yang telah memiliki pengalaman pelayanan yang berkualitas, langsung maupun tidak langsung akan menjadi agen pemasaran yang paling efektif.

Pemasaran langsung (direct) bukan berarti tidak penting. Teknik pemasaran langsung hanya bisa diandalkan jika pada saat yang sama perbaikan kualitas pelayanan menjadi fokus paling sentral. Jika tidak, peserta mungkin bisa bertambah dengan pemasaran direct tersebut, tetapi peningkatan volume kepesertaan akan diikuti dengan peningkatan ragam jenis serta kompleksitas permasalahan akibat ketidakpuasan peserta. Efek kumulatif dari persoalan tersebut tentu saja akan kontraproduktif dengan harapan publik.

Optimalisasi pemasaran sosial bisa lebih diperkuat lagi potensi efektivitasnya dengan memberi perhatian yang cepat dan serius terhadap penanganan-penanganan keluhan publik terhadap pelayanan BPJS atau Jaminan Kesehatan Nasional pada umumnya. Dalam kaitan konteks ini pula, peningkatan kemudahan akses publik terhadap penyampaian keluhan, termasuk kritik dan saran membangun, mutlak dilakukan. Website resmi BPJS Kesehatan bisa lebih ditingkatkan fungsionalitasnya, bukan saja sebagai wahana sosialisasi layanan maupun regulasi, melainkan juga sebagai saluran online bagi publik dalam penyampaian keluhan sekaligus tanggapan balik yang sesuai.

Melalui cara-cara pemasaran sosial seperti di atas, BPJS Kesehatan akan lebih banyak mengetahui, memahami dan selanjutnya mengakomodir kepentingan-kepentingan publik dalam memenuhi hak-hak dasar mereka terhadap kesehatan, sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang. Bagaimanapun, BPJS Kesehatan adalah bagian tak terpisahkan dari representasi negara dalam mengawal pemenuhan hak-hak dasar kesehatan insaniah itu sendiri.

Merubah Management Style BPJS Kesehatan
Sebagai lembaga keuangan non bank, sekaligus sebagai lembaga asuransi sosial yang tidak mengutamakan profit oriented, management style BPJS Kesehatan lebih relevan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) berskala nasional. Relevansi tipologi BLU untuk sebuah badan penyelenggara seperti BPJS Kesehatan tidak saja pada aspek non profit oriented-nya, melainkan yang lebih krusial lagi adalah pada tataran ruh bisnis sehat yang diemban lengkap dengan berbagai fleksibilitas layanan yang dimiliki.

Dengan managemen style ala BLU, penyelenggaraan Jaminan Kesehatan akan lebih banyak terhindar dari rigiditas (kekakuan) penerapan regulasi, mengingat substansi fleksibilitas yang terkandung dalam BLU. Tanpa merubah management style BPJS Kesehatan saat ini, implementasi sejumlah regulasi akan lebih sering terkendala oleh tatanan birokrasi eksteren. Kendala dalam penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan menjadi salah satu contoh kasus. Dalam PP Nomor 76/2015 sebagaimana dimaksud di atas, penerapan klausul mengenai kepesertaan otomatis bagi bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu kandung PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan [Pasal 11B Ayat (5)], menurut pihak BPJS Kesehatan masih terkendala oleh regulasi turunan yang belum ada berupa Permenkes, atau Permensos misalnya, meskipun PP tersebut secara eksplisit telah dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan pada 7 Oktober 2015.

Dengan management style BLU, tatanan regulasi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional bisa lebih minim dari hambatan eksteren, dan ini akan lebih menunjang pengejawantahan asas portabilitas BPJS Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional. (Terlalu banyak yang ingin saya sampaikan, tetapi terlalu sedikit yang bisa saya tulis). Wallahua’lam.

Post a Comment for "3 Langkah Strategis Perbaikan Tata Kelola BPJS Kesehatan"