Spiritualitas Keindahan


Setiap orang memiliki pengalaman estetik. Saya lahir dan menjalani masa-masa pertumbuhan di kawasan kepulauan yang sekarang menjadi destinasi wisata dunia: WAKATOBI. Wakatobi adalah akronim dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko. Lenskip (landscape) pantai kawasan ini dominan dibalut pasir putih yang menawan, dan dikelilingi laut yang bening serta dihiasi dengan aneka ragam jenis dan warna ikan, koral, bintang laut, serta unsur-unsur hayati lainnya. Di mata saya, WAKATOBI adalah Akuarium Alam berukuran raksasa dengan keindahan natural yang tak terkatakan. Ya, Wakatobi adalah kawasan wisata bahari dengan keindahan eksotik yang tak ada duanya.

Yang lain boleh bercerita tentang pengalaman estetik di lokasi yang berbeda. Misalnya, berdiri memandang hamparan padi di sawah yang menghijau sejauh mata memandang, bagaikan hamparan permadani yang terbentang luas. Angin sepoi-sepoi berhembus halus membawa suara sayup-sayup seruling bambu dari kejauhan sana. Rumpun-rumpun padi yang ikut melambai-lambai ditiup angin, seperti melengkapi keindahan irama alam, sementara jauh di ufuk sana cakrawala langit terlihat membiaskan gradasi warna biru bersih.

Yang pernah menikmati keindahan kawasan Puncak di “Kota Hujan” Bogor sudah pasti bisa bercerita banyak. Yang pernah menginap di Hotel Seruni, Ciawi Bogor misalnya, berdiri di salah satu balkon hotel, melepas pandangan ke seluruh penjuru, menyaksikan keindahan topografi alam yang begitu mempesona. Terdengar gemericik air yang mengalir dari gunung maupun yang disemburkan melalui taman-taman indah. Ruas-ruas jalan yang meliuk-liuk di sela-sela pepohonan rimbun yang hijau meneduhkan, seluruhnya menjadi bagian dari totalitas keindahan kawasan Puncak.

Masih sangat banyak ragam pengalaman estetik setiap orang, dan tidak menjadi tujuan utama menceritakannya di sini, karena esensi pokok yang ingin saya hadirkan dalam tulisan ini adalah bagaimana memaknai spiritualitas keindahan itu sendiri.

Memaknai Spiritualitas Keindahan
Keindahan, sesungguhnya adalah bagian penting dari elemen spiritualitas. Perhatikanlah bahwa sejumput pengalaman estetik yang saya kemukakan di atas sejatinya menjadi bagian dari jejak-jejak eksistensi-Nya. Dia memperkenalkan Diri-Nya sebagai Al-Jamiil ( الْجَمِيْلُ ) atau Yang Maha Indah. Dalam istilah Latin, keindahan adalah bagian dari vestigia Dei (tanda-tanda Tuhan).

Dengan perspektif di atas, maka menyaksikan keindahan dalam bentuknya yang beraneka ragam semestinya diposisikan dalam koridor yang sama dengan spektrum makna kalimat Syahadat yang pernah (atau yang selalu) kita ucapkan. Ini yang melahirkan cita rasa sakral (sense of sacred) pada setiap jiwa yang tercelup sifat-sifat-Nya setiap kali menyaksikan keindahan.

Spiritualitas keindahan akan semakin kuat pemaknaannya manakala kesadaran dibawa pada ranah yang lebih transenden lagi bahwa kemampan kita melihat, mendengar, atau merasakan obyek keindahan semata-mata karena “titipan kemampuan” yang bersumber dari-Nya melalui indra penglihatan, pendengaran, atau rasa yang nota bene juga adalah pemberian-Nya. Ini mengandung arti bahwa, tanpa eksistensi-Nya, maka bukan saja tidak mungkin ada keindahan, melainkan sekaligus juga tidak mungkin ada kemampuan untuk menyaksikannya. Kesadaran transendental semacam ini lebih sering melahirkan spontanitas ungkapan Masya Allah (ما شاء الله) saat menyakisikan fenomena keindahan. Bukankah arti dari Masya Allah (ما شاء الله) itu adalah atas izin-Nya?

Jangan terkejut kalau kemudian saya katakan bahwa pemaknaan spiritualitas keindahan ini menjadi semakin terkikis oleh menipisnya iman. Sehari setelah pergantian kalender Masehi beberapa hari yang lalu, berbagai media Ibu Kota memberitakan apa yang terjadi di Kawasan Puncak, bahwa Kondom dan (mohon maaf) celana dalam perempuan berserakan di beberapa kawasan wisata itu usai pesta pergantian tahun berlangsung. Lihatlah bahwa desakralisasi atau degradasi pemaknaan spiritualitas keindahan, jika tidak dibendung, akan sangat berpotensi menjadikan kawasan destinasi wisata sebagai tempat kemaksiatan yang membahayakan generasi.

Saya tidak akan pernah setuju jika ada pembagian dikotomis kawasan wisata, yakni wisata religius di satu sisi, dan wisata nonreligius di sisi yang lain. Seluruh kawasan wisata di atas permukaan bumi ini, dengan segala karakteristik keindahannya masing-masing, haruslah sebagai kawasan wisata religius saja, bukan yang lain, karena pemaknaan spiritualitas keindahan sebagaimana yang saya kemukaan di atas menunjukan secara gamblang muatan religiusitas dalam setiap entitas keindahan, sehingga dengan sendirinya menjadi sesuatu yang sangat paradoksal jika kawasan wisata menjadi tempat kemaksiatan, misalnya.

Pemaknaan spiritualitas keindahan yang saya sampaikan di atas menjadi satu paket dengan esensi traveling yang saya pahami dalam Islam. Banyak ayat Al-Quran yang menginformasikan esensi dan bahkan perintah traveling. Dua diantaranya adalah sebagai berikut:


 قُلْ سِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ ثُمَّ ٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ 

Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu" (QS. Al-An’am: 11)

 أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ 

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada (QS. Al-Haj: 46)

Seorang ahli tafsir bernama Fakhruddin Al-Raziy (1149-1209) menulis: “Perjalanan wisata memiliki dampak yang sangat besar dalam rangka menyempurnakan (kehidupan) jiwa manusia.

Akhirnya, senapas dengan pemikiran elaboratif Al-Raziy itu, tulisan ini bergerak menuju puncak kesimpulan bahwa pemaknaan spiritualitas keindahan dalam koridor religiusitas yang semestinyalah yang akan menyempurnakan kehidupan jiwa. Sementara desakralisasi atau degradasi pemaknaan keindahan akan mematikannya. Wallahua’lam. (Lengkapi gagasan ini dengan membaca artikel: Kondom dan Eskalasi Kebejatan Moral di Tahun Baru dan Valentine's Day)

Post a Comment for "Spiritualitas Keindahan"