Mengikat Sebuah Makna Tentang Haji

Umumnya dikatakan haji itu  untuk orang yang mampu. Hakekatnya haji itu untuk orang yang dimampukan oleh Allah. Demikian pula halnya seluruh amal ibadah lainnya.

Memang redaksi yang populer selama ini adalah haji itu untuk orang yang mampu. Meskipun redaksi tersebut tidak salah, namun potensi bias pemaknaanya bisa lebih besar, khususnya jika landasan akidah seseorang lemah. Kemampuan seseorang dalam melaksanakan ibadah haji (dan juga amal ibadah lainnya) pada hakekatnya bukan karena kemampuan orang tersebut. Manusia dan seluruh makhluk lainnya di alam semesta ini tidak akan penah memiliki kemampuan apapun jika Allah sebagai sumber kekuatan tidak memberikannya. Seluruh makhluk terikat pada prinsip dasar “Laahaula walaaquwwata illabillah”. Tidak ada daya (tidak ada kekuatan, tidak ada kemampuan) kecuali seluruhnya karena Allah.

Masjid Namirah, Arafah
Menyandarkan haji (dan amal ibadah lainnya) pada kesadaran mendasar akan kemampuan pemberian (atau kemampuan “pinjaman”) itu akan menyelamatkan seseorang dari sifat ujub, takabbur atau sifat-sifat buruk lainnya, bahkan tidak tertutup kemungkinan menyelamatkan kita dari syirik atau menyekutukan Allah, tak terkecuali syirik kecil berupa riya.

Baca juga:
Predikat haji mabrur yang merupakan idaman setiap muslim/muslimah dapat diikhtiarkan secara sungguh-sungguh dalam koridor pemaknaan seperti di atas, dengan satu kesadaran pula bahwa adanya kemampuan berikhtiar sungguh-sungguh itupun adalah karena Allah. Muara dari semua pemaknaan seperti di atas tidak lain adalah sikap Tawadhu, dan sikap itulah yang semestinya memancar dari diri setiap muslim/muslimah, lebih-lebih yang sudah menunaikan ibadah haji. Hajjan mabruuran wa sa’yan masykuuran wa damban maghfuuran wa tijarotan lantabuuran.

Post a Comment for "Mengikat Sebuah Makna Tentang Haji"