Ketika Tubuh Menolak Ikut Panas, Menolak Ikut Dingin: Refleksi dari Karawang, Arofah, dan Antartika


Siluet manusia dengan suhu tubuh 37°C di antara gurun panas dan kutub bersalju, menggambarkan stabilitas suhu tubuh dalam ekstrem lingkungan.
Ilustrasi suhu tubuh manusia yang tetap stabil di tengah lingkungan ekstrem: dari Arafah yang panas hingga Kutub Utara yang membeku. Keajaiban penciptaan yang mengajarkan kita tentang keseimbangan.

Siang hari ini, Karawang bersuhu 31 derajat Celcius. Hangat dan lembap, seperti biasa. Tapi di Arafah, tanah terbuka yang menyambut jutaan jemaah haji, suhu menyentuh 41 derajat Celcius. Sepuluh derajat lebih tinggi, cukup untuk membuat langkah melambat dan peluh tak berhenti mengalir.

Sepuluh derajat. Terlihat kecil dalam angka, tapi besar dalam rasa. Bagi tubuh, ini bukan hanya perbedaan cuaca, tapi perbedaan beban kerja biologis.

Namun, yang paling menakjubkan bukanlah angka suhu itu. Yang paling menakjubkan adalah fakta bahwa tubuh manusia tetap menjaga suhu internalnya di kisaran 36,5 hingga 37 derajat Celcius, tak peduli seberapa panas dunia di luar sana. Ia tak mau terbakar oleh panas. Ia melawan.

🌬️ Lalu bagaimana jika yang datang bukan panas, tapi dingin?

Di kutub utara, atau di puncak Himalaya, suhu bisa turun hingga minus 20, bahkan minus 40 derajat Celcius. Angin dingin menusuk tulang. Air membeku dalam sekejap. Nafas berubah menjadi uap. Lingkungan menekan tubuh untuk menyerah, untuk menjadi dingin, untuk berhenti bekerja.

Namun tubuh, sekali lagi, menolak tunduk. Ia mempertahankan suhu asalnya dengan segala cara. Ia menggigil agar otot menghasilkan panas. Ia menyempitkan pembuluh darah di kulit agar panas tidak hilang ke luar. Ia mengatur ulang energi, memperlambat aktivitas, semua demi satu hal: tetap hidup dalam suhu yang telah ditetapkan-Nya.

Baik dalam terik Arafah maupun beku Antartika, tubuh manusia berdiri teguh dalam suhu yang sama: 37 derajat. Di atas suhu itu, ia kewalahan. Di bawah suhu itu, ia membeku perlahan. Seolah ada garis tak kasat mata yang menjadi batas suci, yang tak boleh dilanggar oleh panas maupun dingin.

"Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?"
(QS. Adz-Dzariyat: 21)

🧠 Tubuh adalah guru diam

Tubuh ini, yang mungkin kita remehkan, adalah sistem canggih yang lebih sensitif dari termostat, lebih setia dari janji, lebih disiplin dari jadwal siapa pun. Ia menjaga suhu, bahkan saat kita sibuk melupakan nikmat itu.

Pernahkah kita berpikir:
Jika tubuh punya sistem perlindungan dari panas dan dingin,
maka mungkin jiwa pun punya sistem perlindungan dari kesesatan dan keputusasaan.
Hanya saja, kita sering mematikannya.

Jika tubuh mampu menggigil untuk bertahan,
mengapa kita tidak bisa menangis untuk kembali?
Jika tubuh bisa berkeringat demi keseimbangan,
mengapa kita tidak bisa bersujud demi ketenangan?

Tubuh adalah guru.
Ia tak berbicara, tapi mengajarkan.
Ia tak berteriak, tapi mengingatkan:
Bahwa hidup ini adalah tentang menjaga keseimbangan,
tentang menolak ekstrem,
dan tentang setia pada titik tengah yang telah Tuhan tetapkan.


🕊️ Maka hari ini, saat kita berada di panas Karawang, atau membayangkan terik Arafah, atau membayangkan dingin menusuk di Kutub Utara — mari bersyukur. Karena dalam tubuh kita, ada sistem ajaib yang bekerja siang dan malam. Dan itu semua bukan karena kita hebat. Tapi karena Dia, yang menciptakan kita dengan penuh kasih sayang dan perhitungan.

Post a Comment for "Ketika Tubuh Menolak Ikut Panas, Menolak Ikut Dingin: Refleksi dari Karawang, Arofah, dan Antartika"