Antara Al Ihsan dan Welas Asih: Menakar Makna, Menjaga Harmoni

Antara Al Ihsan dan Welas Asih: Menakar Makna, Menjaga Harmoni

Perubahan nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al Ihsan menjadi Rumah Sakit Welas Asih oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memicu perdebatan hangat di jagat media sosial, terutama di Jawa Barat. Sebagian memandang perubahan tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap budaya lokal. Sementara sebagian yang lain merasa sedikit terusik dengan perubahan itu, bahkan menuduh keputusan perubahan dimaksud sebagai bentuk pengikisan simbol-simbol Islam dari ruang publik.

Bagaimanapun, nama bukan sekadar label. Ia memuat makna, sejarah, identitas, bahkan kadang ideologi. Karena itulah, ketika nama sebuah lembaga publik diubah, reaksi masyarakat bisa sangat beragam, tergantung pada bagaimana mereka memaknai nama tersebut dan ikatan emosional yang menyertainya.

“Al Ihsan” adalah istilah yang sangat kuat dalam khazanah Islam. Dalam salah satu Hadits yang masyhur, ihsan diposisikan sebagai tingkatan tertinggi dalam keberagamaan seseorang: "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika tidak, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu." Kata ini sarat spiritualitas, kedalaman iman, dan keikhlasan dalam pelayanan.

Sementara itu, “Welas Asih” adalah istilah khas dalam bahasa Sunda atau Jawa yang juga berarti kasih sayang, cinta kasih, atau kebaikan hati. Ia memiliki nuansa kebudayaan yang kuat dan bersifat humanistik. Dengan nama ini, RS tampaknya ingin menegaskan pendekatan pelayanan yang penuh kasih sayang terhadap pasien, sesuai dengan nilai-nilai luhur lokal.

Kontroversi muncul ketika peralihan nama ini dinilai oleh sebagian kalangan sebagai upaya sistematis menanggalkan simbol-simbol Islam dalam institusi publik. Beberapa tokoh bahkan menyebutnya sebagai tindakan “anti-Islam”, sebuah tuduhan yang sangat serius di tengah mayoritas Muslim di Jawa Barat.

Namun sebelum menyimpulkan terlalu cepat, mari kita lihat dari perspektif yang lebih luas: apakah perubahan ini sekadar kosmetik administratif, atau ada muatan ideologis di baliknya? Dan apakah penggunaan nama lokal seperti “Welas Asih” memang bertentangan dengan nilai-nilai Islam?

Jika kita kaji secara semantik, baik “Al Ihsan” maupun “Welas Asih” membawa pesan yang sama: berbuat baik dengan penuh kasih. Yang satu memakai bahasa Arab, yang lain memakai bahasa lokal. Keduanya tidak bertentangan secara nilai. Bahkan, Islam sendiri datang untuk menyempurnakan akhlak mulia, termasuk welas asih.

Dari sisi budaya, langkah penggunaan istilah lokal bisa dimaknai sebagai penghormatan terhadap kearifan lokal. Sebab dalam pembangunan berbasis kebudayaan, bahasa adalah elemen penting yang merekatkan antara masyarakat dan institusi yang melayaninya.

Namun demikian, kepekaan masyarakat terhadap istilah keislaman tidak bisa disepelekan. Dalam konteks Indonesia, terutama di Jawa Barat, bahasa Arab bukan sekadar bahasa asing, melainkan bagian dari kehidupan beragama sehari-hari. Nama-nama seperti Al Ihsan, Ar-Rahmah, atau Al-Falah sudah mengakar dalam benak publik sebagai bagian dari identitas lembaga yang bernuansa Islam.

Oleh karena itu, ketika simbol-simbol ini diganti, bahkan dengan niat baik, tetap saja bisa menimbulkan kesan: ada yang sedang dihilangkan. Ketakutan ini bisa dimengerti, apalagi jika tidak disertai penjelasan yang memadai dari pihak yang berwenang.

Di sinilah pentingnya komunikasi publik. Pemerintah daerah seharusnya lebih dulu membangun dialog dengan masyarakat, tokoh agama, dan stakeholders terkait sebelum mengambil keputusan strategis semacam ini. Penjelasan terbuka bisa meredakan kesalahpahaman.

Tanpa komunikasi yang baik, niat untuk menguatkan budaya lokal bisa terbaca sebagai upaya menggeser agama dari ruang publik. Padahal, Islam dan budaya lokal di Nusantara selama ini hidup berdampingan dalam harmoni, bukan dalam kompetisi.

Sejarah mencatat, Wali Songo adalah contoh keberhasilan menyinergikan Islam dengan budaya lokal. Mereka tidak menghapus unsur-unsur tradisional, melainkan memaknai ulang simbol-simbolnya sehingga selaras dengan ajaran tauhid. Dari sini kita belajar: tidak ada pertentangan antara Islam dan nilai-nilai luhur budaya Sunda atau Jawa.

Justru yang dibutuhkan hari ini adalah upaya integratif, bukan dikotomis. Islam tidak harus selalu ditampilkan dalam nama Arab. Demikian pula budaya lokal tidak harus merasa inferior di hadapan bahasa Arab. Keduanya bisa saling menguatkan.

Namun, kita juga harus menghindari sikap reaktif yang berlebihan. Tuduhan “anti-Islam” terhadap perubahan nama ini terlalu dini jika tidak disertai bukti atau pernyataan eksplisit yang menunjukkan motif demikian. Kita perlu mengedepankan tabayyun dan prasangka baik.

Sebaliknya, pihak pemerintah juga tidak boleh meremehkan kekhawatiran publik. Perubahan nama institusi seharusnya mempertimbangkan aspirasi masyarakat luas. Jika perubahan ini sudah terlanjur dilakukan, maka tanggung jawab berikutnya adalah menjaga agar nilai-nilai pelayanan Islami tetap lestari dalam praktik harian rumah sakit tersebut.

Layanan yang ramah, bersih, jujur, adil, dan penuh kasih adalah wujud nyata dari nilai ihsan maupun welas asih. Nama hanyalah simbol, tapi substansi pelayananlah yang jauh lebih penting untuk masyarakat rasakan.

Dalam situasi seperti ini, kita perlu memperbanyak ruang dialog, bukan memperluas jurang perbedaan. Umat Islam tidak harus resisten terhadap semua hal yang berbau budaya lokal. Sebaliknya, penguatan budaya lokal seharusnya tidak dimaknai sebagai penghapusan identitas keislaman.

Idealnya, RSUD sebagai institusi pelayanan kesehatan publik dapat menjadi ruang representasi dari kebaikan universal: kasih sayang kepada yang sakit, empati kepada yang menderita, serta pengabdian kepada kemanusiaan. Inilah nilai-nilai yang diajarkan Islam maupun budaya Nusantara.

Jika makna itu tetap dijaga dalam roh pelayanan, maka nama RS “Welas Asih” bisa tetap memancarkan semangat Al Ihsan. Nama bisa berubah, tapi semangat pengabdian harus tetap bernyala.

Lebih dari sekadar perdebatan nama, kita diajak untuk menakar kembali esensi dari pelayanan publik: apakah sudah menjadi tempat di mana rakyat, dari berbagai latar belakang agama dan budaya, mendapatkan pelayanan terbaik, adil, dan manusiawi?

Perdebatan ini bisa menjadi momentum reflektif, bukan konflik. Kita belajar bahwa simbol memang penting, tetapi nilai dan perilaku jauh lebih esensial.

Dan akhirnya, kita harus bersyukur tinggal di negeri yang plural namun bisa berdialog. Di negeri ini, Islam dan budaya bisa berjalan bersama, saling memelihara dan memperkaya. Jangan sampai debat nama rumah sakit justru mengganggu harmoni besar yang telah dibangun berabad-abad.

Post a Comment for "Antara Al Ihsan dan Welas Asih: Menakar Makna, Menjaga Harmoni"