Fenomena OTT: Hukum Masih Hidup, Tapi Nurani Sedang Sekarat

Fenomena OTT: Hukum Masih Hidup, Tapi Nurani Sedang Sekarat
Simbol budaya pop di era digital
Fenomena OTT Pejabat: Hukum Masih Hidup, Tapi Nurani Sedang Sekarat (Sumber Gambar: CNN Indonesia)

Setiap kali KPK menyalakan sirine operasi tangkap tangan, bangsa ini seolah disadarkan kembali bahwa hukum masih berdenyut di antara tubuh birokrasi yang sedang sakit. Namun di balik gemuruh kamera dan rompi oranye yang disorot publik, ada sesuatu yang lebih sunyi dan mengerikan. Apa itu? Nurani yang sedang sekarat!!! Nurani tidak mati, tapi sekarat: hidup segan, mati pun enggan, bernafas pelan di tengah derasnya arus ambisi dan kerakusan oknum pejabat yang lupa makna amanah.

Miris memang. Namun sayangnya, semakin sering berita OTT itu muncul, semakin berkurang pula efek kejutnya. Publik seolah tidak lagi terperangah, melainkan hanya bergumam lirih, “Siapa lagi setelah ini?”

Fenomena itu menandakan bahwa korupsi telah menjadi ritual yang berulang, seakan-akan bukan lagi pelanggaran luar biasa. Seolah negeri ini hidup dalam siklus dosa yang tak kunjung usai.

OTT memang penting, paling tidak menunjukkan bahwa hukum masih bekerja. Tapi di sisi lain, setiap OTT terjadi sesungguhnya juga sedang menunjukan fakta bahwa pencegahan gagal total. Korupsi tetap subur, meski penindakan terus dilakukan. Mengapa demikian? Tentu saja karena akar persoalan korupsi di Indonesia bukan sekadar pada lemahnya pengawasan, tapi pada rusaknya nilai dan nurani.

Faktual, pejabat yang tertangkap itu bukan orang bodoh. Mereka berpendidikan tinggi, sebagian bahkan lulusan universitas ternama. Tapi di titik tertentu, mereka kehilangan kompas moral. Korupsi lahir bukan dari ketidaktahuan, melainkan dari pilihan sadar untuk mengkhianati kepercayaan publik.

Di sinilah letak masalah yang sesungguhnya. Banyak pejabat kita pandai bicara tentang integritas, tetapi gagal menghidupkannnya dalam tindakan nyata. Mereka menandatangani pakta integritas dengan tangan kanan, namun tangan kirinya sibuk menghitung hasil suap. Korupsi hari ini bukan sekadar kejahatan individu, tetapi produk sistemik dari budaya politik yang transaksional.

Meskipun tidak bisa digeneralisasi untuk semua, namun fakta pahit yang tidak jarang kita saksikan adalah, bahwa untuk menjadi pejabat, seseorang harus “bermodal besar”. Biaya politik yang tinggi mendorong mereka mencari pengembalian cepat. Dan ketika jabatan diperoleh dengan ongkos, kekuasaanpun berubah menjadi alat investasi. Dalam sistem seperti itu, integritas menjadi barang mewah. Orang baik sering tersingkir karena tidak punya cukup uang, sementara yang bermodal justru membuka pintu korupsi sejak hari pertama menjabat.

OTT kemudian datang sebagai bentuk koreksi. Namun, harus kita akui, OTT hanya menyentuh gejala, bukan akar. KPK menangkap pelaku, tetapi tidak bisa membenahi sistem yang melahirkan mereka. Karena sistem itu berada di wilayah politik dan budaya birokrasi yang jauh lebih dalam.

Paradoks Moral

Di sisi lain, publik juga menghadapi paradoks moral. Kita marah saat pejabat ditangkap, tapi diam saat melihat praktik kecil korupsi di sekitar kita: pungutan liar, manipulasi nota, atau penyalahgunaan fasilitas kantor. Kita mengecam korupsi besar, tapi sering menormalisasi korupsi kecil. Padahal, dari kebiasaan kecil itulah lahir perilaku besar yang merusak bangsa.

OTT bukan sekadar berita kriminal; OTT sejatinya adalah cermin kebangsaan. Melalui setiap penangkapan, kita melihat wajah kita sendiri; wajah bangsa yang masih bergumul antara idealisme dan kepentingan. Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan lebih banyak penjara, lebih ketatnya pengawasan, atau ancaman hukuman mati sekalipun. Karena yang hilang bukan hanya rasa takut pada hukum, tetapi rasa malu pada Tuhan.

Pejabat yang beriman mestinya sadar bahwa jabatan adalah amanah, bukan keuntungan. Namun ketika iman direduksi menjadi formalitas, dan jabatan dianggap ladang rezeki pribadi, maka setiap tanda tangan bisa berubah menjadi transaksi dosa.

Fenomena maraknya OTT menunjukkan krisis kejujuran yang melanda birokrasi kita. OTT, sekali lagi, bukan semata-mata masalah hukum, melainkan masalah nurani. Seorang pejabat bisa belajar hukum dalam waktu singkat, tapi menanamkan kejujuran membutuhkan perjalanan spiritual yang panjang.

Kita sedang hidup di masa di mana kecerdasan administratif tidak lagi seimbang dengan kebijaksanaan moral. Banyak pejabat cakap menyusun laporan keuangan, tapi tak mampu menimbang antara halal dan haram dalam setiap keputusan. Dan lebih menyedihkan lagi, sebagian masyarakat kini mulai apatis. OTT dianggap tontonan, bukan peringatan. Kita menertawakan pejabat yang ditangkap, tapi jarang mengambil pelajaran dari kejatuhannya.

Padahal, setiap pejabat yang tertangkap seharusnya menjadi panggilan refleksi nasional Apakah kita masih bangsa yang peduli pada kebenaran, atau sudah terbiasa hidup dalam kepalsuan? KPK boleh kuat, tapi tanpa kebangkitan etika publik, lembaga anti rasuah itu hanya akan terus bekerja tanpa henti, menangkap satu demi satu, tanpa perubahan berarti di hulu.

Harus Mulai dari Mana?

Kita perlu memulai dari dasar: membangun budaya malu, memperkuat pendidikan moral, dan menanamkan nilai amanah sejak dini. Integritas tidak lahir di ruang sidang, tapi di ruang batin. Negara ini tidak kekurangan hukum, tapi kekurangan keteladanan. Kita punya ribuan aturan, tapi sedikit pemimpin yang menjadi contoh.

Dan tanpa teladan, hukum hanya menjadi teks — dingin, kaku, dan kehilangan daya hidupnya. Fenomena OTT adalah tanda bahwa hukum belum mati, tapi nurani kita sedang sakit. Ia butuh penyembuhan, bukan sekadar penghakiman. Dan penyembuhannya hanya mungkin jika kita berani menata ulang cara kita memandang kekuasaan. Bahwa kekuasaan bukan jalan untuk memperoleh kehormatan, melainkan ujian untuk menjaga kehormatan.

Setiap pejabat yang menandatangani sumpah jabatan sebenarnya sedang bersaksi di hadapan Tuhan, bukan sekadar di depan kamera. Namun ketika sumpah itu kehilangan makna spiritualnya, jabatan berubah menjadi panggung, dan rakyat hanya menjadi penonton. Dan dari situlah korupsi lahir — ketika kejujuran dianggap tidak realistis, dan tipu daya menjadi bagian dari “kecerdikan” birokrasi.

Maka setiap OTT sesungguhnya bukan tragedi bagi satu orang, melainkan peringatan bagi kita semua. Bahwa bangsa ini masih mencari jalannya menuju kejujuran. Jika suatu hari nanti berita OTT tak lagi terdengar, semoga bukan karena KPK berhenti bekerja, tapi karena pejabatnya telah belajar takut kepada Tuhan dan malu kepada rakyatnya.

Itulah hari di mana bangsa ini benar-benar merdeka — bukan hanya dari penjajahan, tapi dari nafsu serakah yang menggerogoti nurani. Dan sampai hari itu tiba, setiap OTT adalah cermin retak yang mengingatkan kita: betapa mahalnya harga kejujuran di negeri yang katanya beriman ini.

Mungkin benar, hukum di negeri ini masih hidup. OTT bisa menggiring pejabat ke ruang tahanan dan menyalakan kamera di tengah malam. Tapi hukum tidak pernah mampu menghidupkan kembali nurani yang telah sekarat. Itu tugas kita sebagai bangsa: membangunkan hati yang tertidur, menyalakan malu yang padam, dan menanam kembali iman di tanah kekuasaan yang tandus.

Karena bila nurani mati, maka setiap aturan hanyalah teks tanpa jiwa; dan pejabat hanyalah jasad berjas rapi yang kehilangan arah. Kita tak butuh lebih banyak penjara, kita butuh lebih banyak kesadaran. Saat hari itu tiba — ketika jabatan kembali dimaknai sebagai amanah, bukan keuntungan — mungkin sirine OTT tak perlu lagi berbunyi. Sebab hukum tak lagi perlu berlari mengejar mereka yang sudah belajar takut kepada Tuhan. Barokallahu fiikum. (Baca juga: Antara Efek Purbaya dan Pesona Dedi Mulyadi: Sebuah Komparasi Popularitas)

Post a Comment for "Fenomena OTT: Hukum Masih Hidup, Tapi Nurani Sedang Sekarat"