96% Responden Setuju BPJS Kesehatan Kembali Menjadi PT Askes, What's Wrong?

Jajak pendapat yang saya lakukan melalui fitur survey online di beranda facebook saya beberapa hari lalu menunjukan hasil yang sangat mencengangkan. Dari 171 responden yang berpartisipasi memberikan suara, 165 (96%) responden menyatakan setuju BPJS Kesehatan kembali menjadi PT. ASKES. Hanya 6 (4%) responden yang menyatakan tidak setuju.

Harus saya katakan lebih awal bahwa survey online ini tidak untuk membuat generalisasi kesimpulan tentang eksistensi BPJS Kesehatan. Keterwakilan survey ini benar-benar hanya berlaku pada seluruh responden yang terlibat saja, sementara yang tidak terlibat atau tidak memberikan suara belum tidak menjadi wilayah pemaknaan survey kali ini. Tampilan di bawah ini adalah survey online yang saya maksud berikut hasil akhir yang dicapai.


Tidak pada tempatnya kita berandai-andai bahwa jika responden yang terlibat lebih banyak lagi, maka jumlah responden yang akan menyatakan setuju akan lebih besar pula. Jelas, belum tentu. Belum tentu benar, tapi belum tentu salah juga. Fokus kita saat ini adalah mempertanyakan, mengapa mayoritas responden dalam survey di atas menyatakan setuju BPJS Kesehatan kembali menjadi PT. ASKES, apa yang salah?

Jawaban paling valid tentu hanya bisa kita peroleh dengan menanyakannya langsung pada tiap responden. Mengingat saya pribadi ikut memberikan suara (Setuju) dalam survey tersebut, maka melalui halaman ini saya mohon izin untuk memberikan jawaban atas pertanyaaan di atas, dan jawaban ini tentu saja sekaligus menjadi catatan saya.

Dengan kedudukan BPJS Kesehatan seperti sekarang, sebagai lembaga non departemen setingkat menteri yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, maka dalam hal ini saya dan sejumlah rekan-rekan sejawat memandang keadaan tersebut seperti melahirkan fenomena "ada 2 matahari dalam cakrawala kesehatan" di negeri ini, yang salah satu diantaranya berusaha membangun hegemoni lembaga yang hanya melahirkan potensi disharmonisasi dengan yang lainnya.

Dengan posisi sama-sama sebagai matahari, maka dalam membuat regulasi seolah tak dibutuhkan kerja koordinasi yang mutual dengan yang lainnya. Akibatnya, ketika regulasi itu masuk dalam tataran implementasi, yang sering kali tanpa didahului sosialisasi yang memadai, lahirlah kegoncangan yang "mengacaukan" pelayanan. Sekedar menyebut beberapa contoh, artikel saya sebelumnya berjudul : Akhirnya MA Batalkan 3 Regulasi Kontroversial Direktur BPJS Kesehatan, bisa menjadi argumentasi elaboratif kebenaran narasi di atas. 


Sebelumnya, regulasi bermasalah yang dikeluarkan oleh satu "matahari" itu terjadi saat penetapan dan implementasi Norma Kapitasi di tataran FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama), yang pada akhirnya diralat atau dirubah,  dan imlementasinya dilakukan setelah sebelumnya dilaksanakan sosialisasi dan tahapan uji coba.


Apakah hanya itu tanda-tanda disharmonisasi lembaga akibat fenomena 2 matahari tadi? Tidak, masih banyak, dan potensial akan terus bertambah banyak jika design struktural kelembagaannya seperti saat ini, ada 2 matahari di cakrawala kesehatan. Ketika belum lama ini Kementerian Kesehatan menetapkan dan mengundangkan Permenkes 51 Tahun 2018 Tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan,  seorang petugas kesehatan dari salah satu rumah sakit mengirimi saya pesan Whats App, "Assalamu'alaikum Dok. Terkait Permenkes No 51 tahun 2018, kami tadi dah telp ke BPJS Kesehatan, katanya itu bukan ranah kami yg membahas, tetapi Dinkes dgn rumah sakit. Kira2 kapan kita bahas dok.. Maaf ganggu waktunya"

WA di atas langsung saya jawab, "Wa'alaikumussalam wrwb. Kalau BPJS Kesehatan bilang bukan urusannya, berarti mereka blm baca Permenkes tsb, khususnya Pasal 4 Ayat (2): Penetapan jenis pelayanan kesehatan yg dpt menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dlm program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pd ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan dri BPJS Kesehatan, organisasi profesi, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan"

Masih banyak pertimbangan konseptual yang memperkuat argumentasi di atas, dan pada akhirnya seluruhnya mengarah pada satu muara gagasan bahwa fenomena 2 matahari di cakrawala kesehatan kita seperti saat ini sangat berpotensi melahirkan batu-batu sandungan dalam ranah harmonisasi regulasi, yang ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah masyarakat, termasukbdi dalamnya para pelaksana di lapangan. Ini yang menjadi salah satu pertimbangan, BPJS Kesehatan lebih baik kembali menjadi PT. ASKES. Cukup ada satu saja matahari di cakrawala kesehatan, dan itu sudah terwakili dengan eksistensi Kementerian Kesehatan, untuk mengurangi potensi-potensi disharmonisasi regulasi di bidang kesehatan.


Ketika BPJS Kesehatan dikembalikan ke ruh awal sebagai PT. ASKES, maka lembaga ini bisa lebih fokus untuk menata jaminan kesehatan bagi segmen kepesertaan ASN (Aparatur Sipil Negara), TNI POLRi berikut para pensiunan, termasuk para penyelenggara negara, sebagaimana yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan ikut dikembalikan pula ke ruh awal sebagai PT JAMSOSTEK  yang berkonsentrasi pada jaminan kesehatan (dan program jaminan lainnya) bagi para pekerja di sektor swasta, persis seperti yang sudah pernah dilaksanakan sebelumnya.

Mengembalikan lembaga-lembaga di atas pada ruh awalnya masing-masing, bukan saja kemudian menghilangkan potensi monopoli yang tidak sehat dalam pengelolaan kepesertaan jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan, tetapi yang sangat fundamental adalah iklim fastabiqul khairat dalam mengembangkan keunggulan pelayanan bisa lebih kondusif tercipta dalam situasi yang tidak monopolistik. Pertanyaan pentingnya kemudian adalah, bagaimana dengan segmen masyarakat lainnya? Seperti apa design terbaik jaminan kesehatannya?

Pertanyaan di atas sebenarnya sebagian sudah terjawab dengan praktek jaminan kesehatan yang sudah pernah terimplementasi sebelumnya, yakni Program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang secara khusus kepesertaannya berlaku bagi GAKIN (Keluarga Miskin) yang pengelolanya adalah P2JK (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan) Kementerian Kesehatan RI.
Yang belum terjawab, dan sekarang saya akan coba jawab adalah, bagaimana dengan jaminan kesehatan bagi segmen masyarakat yang tidak termasuk segmentasi di atas? Bukan ASN, bukan TNI POLRI, bukan Pensiunan, bukan Karyawan Perusahaan, juga bukan GAKIN? Saya menyebutnya sebagai segmen Mandiri Non Formal.


Hemat saya, jika BPJS Kesehatan dan juga BPJS Ketenagakerjaan sudah dikembalikan ke ruh awal masing-masing, dan setelah itu kedua lembaga asuransi tersebut dipayungi dengan sebuah regulasi tunggal ekspansi kepesertaan, maka di titik inilah peluang emas fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) di atas akan menemukan momentumnya, saat ketika segmen Mandiri Non Formal mengambil keputusan provider asuransi mana di antara dua lembaga itu yang mereka akan pilih.

Saya melihat, jika konsep di atas dilaksanakan, yang tentu saja harus didahului dengan perubahan undang-undang tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) maupun BPJS Kesehatan/Ketenagakerjaan,  terus terang ada satu keyakinan kuat bahwa keadaan pelayanan kesehatan di negeri ini insya Allah akan menjadi lebih baik. Rumah Sakit Rumah Sakit, tidak akan terancam kolaps lagi karena hanya ada satu pembayar tunggal yang sering terlambat membayar, yaitu BPJS Kesehatan, tetapi ada alternatif pembayar yang lain; ada Jamsostek, ada Jamkesmas, ada Jamkesda, selain Askes dan asuransi-asuransi lainnya tentu saja.

Dan, last but not least, design global yang saya sampaikan di atas, tetap bertumpu pada satu semangat dan satu esensi tujuan yang sama, yakni terwujudnya cakupan kesehatan semesta alias UHC (Universal Health Coverage). Bedanya, design UHC yang saya gambarkan di atas, tidak monopolistik. Apakah dengan kembali ke ruh awal berati kita mundur? Hmm ...,  mundur sambil memperbaiki strategi, tak jarang justru menjadi satu-satunya pilihan untuk bisa melompat lebih tinggi. OK ? Wallahua'lam.

Post a Comment for "96% Responden Setuju BPJS Kesehatan Kembali Menjadi PT Askes, What's Wrong?"